Saya baru saja tiba di terminal Probolinggo. Di sebelah saya ada seorang teman perempuan Kami bukan sepasang kekasih, tetapi selama seminggu kemarin kami mengadakan tour bersama ke Yogyakarta.
Bus perlahan penuh. Tiba-tiba ada seorang Ibu dan anak kecilnya duduk di kursi paling dengan dengan posisi duduk yang hanya berisi satu kursi. Ibu tersebut kemudian meminta diri kepada kenek bus.
Saya mengamati dari belakang. Supir kemudian masuk dalam bus memberitahukan bahwa bus akan berjalan sekitar dua menit lagi. Anehnya, si Ibu yang ke kamar mandi belum terlihat batang hidungnya.
Bus pun berusaha berjalan meninggalkan terminal. Anak yang ditinggalkan itu merengek dan memanggil ‘Mama’ begitu terus. Saya tak tinggal diam.
“Pak, jangan jalan dulu! Kasihan anak ini, ibunya masih di kamar mandi.”
“Ini sudah waktunya jalan,” jawab Pak Sopir tak kalah mencolot.
“Kasihan sama anak ini, Pak. Dia menangis tuh. Ibunya masih di kamar mandi,” terang saya lagi.
Sopir segera meng-gas pedalnya, bus berjalan meninggalkan terminal. Seorang ibu tampak berlari mengejar bus ini, saya segera berucap syukur dalam hati. Saya tidak bisa membayangkan jika bus ini meninggalkan ibu dari anak kecil itu. Bagaimana nasibnya? Dan rentetan pertanyaan lain menghantui pikiran saya?
“Gue juga ikut sebel sama itu supir! Kayak yang nggak punya anak saja!” Nita, teman seperjalanan dari Yogya akhirnya beragumen. Kebiasaannya menggunakan kata ganti gue untuk aku atau saya, sudah saya maklumi. Perempuan itu memang berkiblat kejakartaan.
“Sudahlah, jangan bahas kelakuan supir tadi!”
Maka, bus pun terus berjalan. Beberapa meter dari terminal, tiba-tiba ada seorang penumpang yang memberikan kacang plastik kepada setiap penumpang. Saya menolak dengan halus, tetapi kacang tersebut tetap saja diberikan pada saya.
“Sekuat apa pun kamu menolak, kacang itu tetap akan diberikan.”
“Lho kok bisa?” tanya saya, antara bingung dan takjub ketika mengetahui teman saya itu tidak menggunakan kata loe untuk kamu.
“Ya, memang begitu. Nanti jika kamu mau membeli tinggal kasik uang. Kalau tidak kacang akan ditarik lagi oleh penjualnya.”
Saya mengangguk mengerti. Macam-macam saja jalan pikiran penjual kacang ini.
“Baru pertama kali naik bus ya?”
Saya menunduk malu. Perempuan itu tertawa terbahak-bahak, ibu yang tadi hampir meninggalkan anaknya dalam bus ini menatap kami sejenak. Saya mencoba memberi senyum terbaik pada ibu itu.
“Turun mana?” tanyanya.
“Situbondo, Bu. Njenengan?”
“Sama, Dik.”
Kemudian sepi. Teman perempuan saya itu terdiam setelah menelepon ayahnya di seberang. Saya gantian menggoda.
“Kamu itu perempuan, tapi sering nggak mandi!” Saya mencoba mengingat kebiasaan yang selalu ia bawa dalam beberapa kesempatan ketika kuliah.
“Yang penting tetap cantik!” kilahnya.
Bus terus berjalan. Kenek bus telah meminta uang kepada penumpang. Perjalanan Surabaya-Probolinggo sendiri dihargai tiga puluh lima ribu. Berhubung kami menaiki bus dari Probolinggo ke Situbondo, kami hanya perlu membayar tujuh belas ribu.
“Itu ada Pantai Bentar!” tunjuk teman perempuan saya.
Sekilas saya memandang ke arah yang ditunjuknya dan sekilas pula mengetahui jika pantai tersebut memiliki keindahan tersendiri. Tiba-tiba ada keinginan untuk singgah di Pantai Bentar barang sejenak.
“Next time kita ke sana!”
Saya mengangguk pasti. Bus terus berjalan. Orang-orang di sekeliling kami tak banyak bicara. Mereka seperti kehilangan gairah berbicara dengan penumpang di kanan-kirinya atau memang ada larangan berbicara dengan orang yang tak dikenal selama di bus? Ah, untuk apa aku berburuk sangka atas peraturan yang tak tertulis itu. Toh, pasti mereka ingin segera sampai ke tujuan masing-masing untuk menabur rindu kepada saudara-saudara atau anak-anak yang telah lama ditinggalkan. Atau bisa pula mereka ingin fokus menatap masa depan, bukankah mungkin saja dari mereka ada yang berencana untuk nyebrang ke pulau seberang untuk mengundi nasib.
Saya membunuh waktu dengan membuka akun media sosial yang saya punya, lalu membuat status tentang hal-hal yang tak masuk akal, juga tentang dunia menulis yang saya geluti.
Bus berhenti sejenak. Menggoyangkan tubuh sedikit demi sedikit. Salah satu penumpang turun digantikan penumpang yang lain.
“Orang datang dan pergi, silih berganti dalam kehidupan kita sama dengan penumpang yang ada di bus ini.”
“Filosofis banget!”
“Yup, filosofi bus.”
Saya kemudian memerhatikan penumpang yang baru bergabung. Demi melihat tubuh penumpang itu, saya mengernyitkan kening. Pasalnya, ia bukanlah manusia yang memiliki tubuh lengkap. Segera dalam hati, saya bersyukur atas karunia Tuhan yang telah memberi kelengkapan fisik.
“Gue tadi lihat bapak itu jadi ingat dengan pengemis-pengemis yang berseliwuran di kampus.”
Perempuan di samping saya seperti akan memulai cerita. Saya segera memasang muka dengan tanda menyimak se-intensif mungkin.
“Masak kamu tahu ya, pengemis yang di daerah kampus. Itu-itu saja. Lebih mengherankan ternyata pengemis itu tinggal di perumahan mewah dekat dengan teman kita.”
“Lho pengemis yang mana?”
Ia lalu menyebut ciri fisik pengemis yang dimaksud. Saya dengan cepat bisa memperkirakan perawakan ibu pengemis itu.
“Terkadang peminta lebih kaya dibandingkan orang yang dimintanya. Makanya, di kota tempat kita belajar sekarang dilarang memberi uang pada pengemis.”
“Gue setuju dengan loe!”
“Saya juga punya pengalaman buruk seputar pengemis. Begini ceritanya, sebagai seorang anak pedagang ikan di Pasar Panarukan.
Saya memerhatikan pengemis tua bapak-bapak, ia pincang. Pedagang yang termasuk kaum ibu-ibu pun menjadi iba. Namun, sebulan kemudian mereka berubah seketika ketika salah satu dari mereka melaporkan jika pengemis itu menggunakan Vixion. Vixion kau tahu sepeda motor cowok! Itu artinya kepincangannya fiktif!”
“Itu yang membuatku takut untuk memberi uang pada pengemis!”
Tak disangka perbincangan kami membuat bapak-bapak yang memiliki perawakan hampir sama dengan yang saya ceritakan mendatangi kami.
“Bukan bapak yang saya maksud,” jelas saya seraya berusaha memberikan senyum terbaik.
Bapak itu melotot tak terima. Ia tiba-tiba ingin memberi bekas pukulan terhadap muka saya. Beruntung ibu yang tadi hampir meninggalkan anaknya itu melerai kami.
“Awas ya, nanti anak buahku akan mengajarmu! Aku tahu tempatmu, Pasar Panarukan kan!” Saya ketakutan mendengar ancaman itu. Sebenarnya bukan keamanan yang menjadi titik kekhawatirkan, tapi keamanan dan kenyamanan ibu sebagai penjual ikan.
“Ah, sudahlah itu hanya gertak sambal!” batin saya menolak perkataan bapak itu.
Bus kini semakin jauh dari Probolinggo. PLTU Paiton menyambut kami, bapak-bapak yang sempet bersitengang itu turun. Saya bersyukur dalam hati.
“Bapak itu paling mau menjalankan diri menjadi pengemis. Punya kecacatan kok menjual welas asih!”
Saya menahan tawa. Sebab tak biasanya teman saya itu menggunakan pilihan kata dalam berbahasa Jawa.
“Namanya juga hidup Cah Ayu dan Cah Ganteng. Setiap orang punya pilihan,” ucap ibu yang menolong saya ikut nimbrung. Kini wajahnya cerah, anak kecil yang merengek itu telah pulas dalam mimpi ditemani para bidadari.
“Padahal, lebih baik tangan di atas ketimbang tangan di bawah.”
Lagi-lagi saya menahan tawa. Teman perempuan saya kini berlagak seperti seorang penceramah.
Ibu itu mengulum senyum. Kemudian, menyanyikan lagu yang begitu merdu. Saya tersenyum senang. Beberapa penumpang bertepuk tangan setelah mendengar lagu tersebut.
“Temui Ibu ya jika ada waktu!” Saya dan teman saya akhirnya turun di pertigaan Panarukan. Ibu itu memberi sebuah alamat.
Saya tersenyum senang.