Banyaknya perguruan tinggi di wilayah Jember membuat mahasiswa membutuhkan referensi atau bahan bacaan yang pas, terutama bagi mereka yang sedang menempuh tugas akhir. Maka tak heran, jika di kota Jember yang makin rame di setiap kampus memiliki perpustakaan yang menyimpan puluhan ribu koleksi buku. Walaupun begitu, pada kenyataannya terkadang buku-bukunya masih saja kurang memenuhi kebutuhan. Sehingga hal itu mendasari munculnya taman baca milik masyarakat.
Bersama Zaidi (Merah), Imron (Hitam), dan Yudik (Abu-Abu). Fotografer: Wahyu |
Tak seperti perpustakaan kampus atau sekolah yang memiliki kesan kaku. Taman baca milik masyarakat nyatanya jauh lebih nyaman untuk dikunjungi, bahkan bisa dijadikan spot yang instagrable. Adalah Iman Suligi, pendiri perpustakaan atau rumah baca bernama Kampoeng Batja ini menyulap lahan seluas sembilan ratus meter persegi menjadi destinasi edukasi yang wajib dikunjungi saat ke Jember.
Pengalaman pertama masuk ke Kampoeng Batja karena diberitahu oleh kakak saya yang kebetulan juga penggila buku. Mbak Yusro begitulah panggilan saya ia bercerita saat ke Alun-alun Kota Jember bertemu dengan Iman Suligi dengan anak-anak binaannya. Akibat itu, kakak perempuan saya itu merecoki untuk segera mengunjungi ke taman baca milik pensiunan guru itu.
Akhirnya, kesempatan benar-benar saya raih, tepatnya pada 28 Mei 2016 bersama Imron, Yudik, Zaidi, dan Wahyu yang datang jauh-jauh dari Situbondo. Kesempatan itu tentu dimaksudkan selain mengetahui kondisi Kampoeng Batja, juga digunakan sebagai sarana diskusi bersama penyair asal Yogyakarta bernama S. Arimba yang diundang oleh HMP IMABINA (Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) Universitas Jember.
Penyair asal Yogyakarta itu berbagi banyak hal seputar perkembangan sastra kampus di Yogyakarta. Seusai itu, diskusi segera terpantik dengan sesi tanya-jawab. Barulah, diakhiri oleh menyambung puisi. Kegiatan menyambung puisi dimulai dengan Imron yang membaca puisi, kemudian dilanjutkan oleh yang lain hingga orang terakhir. Keunikannya adalah kami harus bisa menyambung kata agar memiliki kepaduan yang tepat.
“Pak Iman, saya Gusti.”
“Teman saya di Facebook ya?” tanya beliau diiringi senyum terbaiknya.
Saya mengangguk. Kemudian, meminta waktu untuk bertanya jawab seputar Kampoeng Batja ini. Sejarah Kampoeng Batja ini sendiri didirikan
pada tahun 2009, bermulah dari menggunakan ruang tamu, kemudian menggunakanlayanan antar jemput. Setelah pensiun barulah lelaki paruh baya ini memiliki lahan ditunjang dengan bantuan PNPM berupa buku rak dan kursi.
Pemilihan nama Kampoeng Batja sendiri didasari karena filosofi Iman Suligi. Di
mana arti nama tersebut diharapkan nantinya kampung ini membiasakan membaca untuk keseharian yang bisa meningkatkan kualitas hidup seseorang.
Saya sendiri sepakat dengan pernyataan beliau. Bagi saya
pribadi seseorang terlihat cantik tidak dilihat dari tebal make up-nya, tetapi
tebal pengetahuan yang didapat dari kegiatan membaca buku. *eh, kok jadi bahas perempuan cantik, baik kita kembali ke topik utama*
Koleksi bahan bacaan di Kampoeng Batja sendiri beraneka macam dan tema. Berawal dari koleksi pribadi dan bantuan berbagai pihak. Tak hanya sebagai pusat kegiatan membaca, tempat ini juga menyajikan wisata edukasi bagi anak-anak. Seperti kegiatan mendongeng, permainan tradisional, memanah, dan seni melipat kertas. Tentu, tak hanya untuk anak-anak, tempat ini juga dijadikan sarana diskusi bagi masyarakat umum. Seperti yang sekarang saya ikuti.
“Selain bapak dan ibu, siapakah yang berperan penting dalam Kampoeng Batja ini. Adakah relawannya dan bagaimana cara menjadi relawan?” tanya saya kembali.
Iman Suligi tersenyum mendengar pertanyaan saya. Lalu, tangannya menunjuk seseorang yang telah lama saya kenal. Kemudian, perempuan bernama Sekli itu mendampingi kami.
Perempuan yang masih satu jurusan dan satu angkatan dengan saya itu bercerita sejarah ia menjadi relawan. Waktu itu, ia bersama kakak-kakak dari FTP (Fakultas Teknik Pertanian) Universitas Jember ingin membuat kegiatan. Lalu, Iman Suligi memfasilitasi kegiatan tersebut. Kemudian, berlanjut pada bulan April terdapat Hari Anak Internasional, di mana Kampoeng Batja membuka lapak di alun-alun. Hingga relawannya semakin bertambah dan dibuat struktur.
“Tidak ada syarat untuk menjadi relawan, yang terpenting ia memiliki dedikasi tinggi,” tutup Sekli.
Obrolan dengan kedua orang tersebut membuat hasrat saya semakin ingin mengetahui kegiatan yang ada Kampoeng Batja lebih jauh. Dan rasanya hal itu seperti diketahui oleh Sekli. Teman kuliah saya itu pun memamerkan sejumlah foto kegiatan menggelar lapak baca gratis yang dilanjutkan dengan gerakan sapu jagad yang biasa dilakukan setiap hari Minggu di Alun-alun Jember. Sungguh, bahagia rasanya melihat foto itu sekalipun tidak bisa melihat langsung.
Sumber foto: Sekli |
Sumber Foto: Sekli |
Sumber Foto: Sekli. |
Sumber Foto: Sekli |
Tak terasa waktu pertama mengunjungi tempat itu telah hampir dua tahun. Dan kini eksistensi Kampoeng Batja semakin nyata. Maka tak heran, ketika saya melihat Youtube dan membaca di Goggle cukup dengan kata kunci Kampoeng Batja. Saya bisa mengetahui jika tempat ini telah diliput oleh banyak media, mulai dari Metro TV, SCTV, SBCTV, Jakarta Post, Radar Jember, dan Hello Jember. Selain itu, sosok pendirinya sendiri juga pernah masuk dalam Sosok Minggu Ini Liputan 6 SCTV. Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan, maka tak heran jika tahun 2014 tempat ini mendapat penghargaan sebagai Taman Baca Kreatif dan Rekreatif bersama 5 TBM lain se-Indonesia.
Kerinduan akan Kampoeng Batja saya sampaikan pada Sekli. Dan sialnya, ia menambah kerinduan itu sendiri melalui obrolan di WhatsApp. Bagaimana tidak perempuan itu bercerita pengalaman ketika mengikuti Gramedia Writing Project. Tahap mengikuti kompetisi itu diawali dengan seleksi esai. Dilanjutkan tahap kedua akan dibuatkan video profil yang dilihat dari penontonnya. Hingga tahap terakhir adalah final dengan presentasi. Kampoeng Batja hanya masuk tahap kedua, dan videonya bisa kalian lihat di Youtube. Sekalipun, tidak sampai masuk final, tapi Kampoeng Batja mendapatkan hibah buku.
Foto kenangan bersama Iman Suligi (tengah baju merah), Sekli (Kerudung biru berkemeja kotak-kotak dan relawan lainnya, HMP IMABINA, dan S. Arimba (Baju merah tengah dekat Iman Suligi). |
Ah. Betapa kerennya wisata edukasi yang berada di kampung padat penduduk, tepatnya Jalan Nusa Indah VI/7 ini. Benar-benar membuat kerinduan, apalagi kini sudah tak berada di Jember lagi. Dan barangkali, di suatu waktu saya ingin memberikan pengalaman kepenulisan kepada anak-anak binaan Kampoeng Batja.
Suatu saat nanti. Semoga! [!]
oleh Taman Botani Sukorambi dan Blogger Jember Suueger #2.