“Cut!” tegas Reno, sutradara yang juga menjadi pacarku.
Mendengar kata itu, aku langsung meloncat senang. Kata itu sekaligus menjadi penanda bahwa syuting miniseri ini berakhir.
Tak hanya aku yang senang, beberapa pemain dan kru lainnya juga memasang wajah senang yang tidak terkira.
“Kerja bagus, Naila!” ucap Reno disertai dua jempol.
Aku tersenyum senang mendengar pujiannya. Tentu miniseri ini tak akan berjalan lancar tanpa tangan dinginnya. Aku bahkan mendapat peringatan keras dari lelaki berahang gagah itu ketika melakukan kesalahan. Padahal, aku pacarnya, tetapi ia bersikap begitu profesional.
“Selamat Mbak Naila!” Sari tiba-tiba hadir di belakangku.
Melihat wajah Sari, aku langsung memeluknya erat. Ia seperti adik yang hilang bagiku. Bagaimana tidak wajahnya begitu percis denganku. Tak sampai di situ, tinggi badannya juga sama. Yang menjadi perbedaan hanyalah garis nasib. Ia tinggal di lereng Bromo dengan pendidikan terakhir SMA sedangkan aku tinggal di ibu kota dengan pendidikan terakhir sarjana.
Selama syuting di lereng gunung Bromo ini, Sari menjadi pramusaji kebutuhan katering. Namun, setelah masa syuting, aku memiliki rencana lain untuknya.
“Sari, ikut kami ya!” tukas Reno.
Kami bertiga langsung mencari tempat yang pas. Reno langsung memberikan tawaran pada Sari untuk ikut bermain peran bersamaku di miniseri selanjutnya. Keputusan ini bukan karena perbedaan wajah kami, melainkan kami melihat Sari memiliki bakat untuk itu. Apalagi, setelah setelah melihat video penampilan sendratarinya saat SMA. Sari akan menjadi artis yang paket komplet. Bisa menari, beladiri, dan bermain peran tentunya.
“Mas dan Mbak nggak bohong kan?” tanya Sari meyakinkan.
Aku dan Reno kompak mengangguk.
“Kami hanya bisa membantu sampai sini. Selanjutnya, kamu harus bisa menunjukkan prestasimu sebagai artis peran. Tidak sekadar mengandalkan persamaan wajah kita,” tambahku kemudian.
Kini, giliran Sari yang mengangguk.
“Aku perlu ganti nama nggak, Mbak?”
Mendengar pertanyaan itu, aku mendadak ketawa. Soal ganti nama panggung memang bukan hal yang baru. Namun, nama panggung adalah pilihan. Mau menggunakan nama asli pun tak masalah. Malah bagiku nama Sari itu unik. Hanya saja, soal nama nanti akan didiskusikan dengan pihak menejemen. Makanya, aku tak menjawab pertanyaan itu. Aku langsung mengalihkan dengan tanya yang lain.
“Kamu langsung ikut aku ke Jakarta besok lusa ya? Kan syuting di lokasi ini telah selesai.”
Sari menggeleng lemah. “Aku tidak bisa, Mbak. Soalnya masih bantu Bukde rewang.”
Aku mengangguk mengerti. Gadis desa seperti Sari pasti lebih mementingkan urusan membantu keluarganya dibandingkan dirinya sendiri. Makanya, ia akan menunda keberangkatan ke Jakarta. Oleh karena itu, aku langsung memberinya beberapa lembar rupiah sebagai bekal perjalanan. Sementara, tiket pesawat dari Surabaya ke Jakarta dan travel dari Probolinggo ke Surabaya sepenuhnya akan diurus oleh menejemenku.

Sumber gambar diambil dari BeritaSatu.com yang diolah menggunakan LunaPic.com.
****
Sari direncanakan akan tiba di Jakarta hari ini. Tepat seminggu setelah kami berpisah di lereng Gunung Bromo. Kedatangannya yang kutunggu itu benar-benar membuat hatiku membuncah. Bersamanya nanti aku tak akan merasakan kesepian lagi di rumah. Kuharap ia bisa menjadi rekan kerja sekaligus sahabat yang baik.
Jadwal kedatangan gadis itu juga membuatku mengosongkan jadwal syuting hari ini. Aku, Reno, dan menejemen langsung berangkat ke Bandara Soekarno Hatta.
Sesampainya di bandara itu, aku telah ditunggu oleh para pemburu berita artis. Tentu aku melayani setiap pertanyaan mereka dengan baik. Mereka juga tampak memasang wajah yang manis untuk penyambutan Sari. Belum datang saja, Sari berhasil membuat semua mata tertuju padanya.
Setelah sesi wawancara itu, aku kembali duduk di tempat kedatangan. Untuk membunuh waktu, kumainkan ponsel dan menegok akun Instagram Sari. Betapa kagetnya aku melihat jumlah pengikut gadis desa itu melonjak tajam.
Di postingan terbarunya saja, fotonya diserbu banyak komentar netizen. Foto tersebut memuat Sari dan kekasih, Mas Apin. Lelaki itu memang tampak manis dan begitu pas untuk Sari. Ia sosok yang menemani Sari di masa-masa sulit di desa. Makanya, Sari meminta agar hubungan dengan kekasihnya untuk dipublish terlebih dahulu. Gadis desa itu takut jika nanti terbang tinggi kariernya sepertiku, Mas Apin menjadi insecure. Aku dan menejemen tentu menyetujui syarat itu.
“Naila istirahat saja dulu, nanti kalau Sari sudah tiba kubangunkan ya!” tegur Reno.
Aku mengangguk setuju. Apalagi, semalam aku menghabiskan jatah scene film televisi yang seharusnya diambil hari ini. Makanya, aku memang perlu istirahat barang sejenak.
Belum genap lima belas menit memejamkan mata, aku dikejutkan dengan goncangan tangan Reno. Ia lalu menjelaskan bahwa keadaan tak sesuai dengan harapan.
“Maksudmu apa?”
Reno itu tak menjawab. Ia malah menunjukkan layar ponselnya yang berisi berita pesawat jatuh. Mendengar news anchor mengabarkan berita itu sungguh membuat jantungku berdegup tak keruan. Hatiku benar-benar hancur. Apa yang ada dalam benakku tak sesuai dengan kenyataan. Pesawat yang ditumpangi Sari jatuh.
Tubuh langsung lemas rasanya. Aku langsung mencari pegangan. Namun, mataku tak kuat untuk melihat sekeliling. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Sangat gelap.
*****
“Mana Sari?”
Semua orang yang ada di sekelilingku tak memberikan jawaban. Mereka malah menangis.
Aku yakin mereka hanya mencoba membuat konten prank. Lalu, tiba-tiba Sari hadir. Aku yakin itu.
“Mana Sari!” bentakku pada Reno.
Lelaki berkulit eksotis itu tak menjawab. Ia yang tak pernah kulihat menangis sebelumnya malah menambah laju air mata.
“Mana Sari?”
Suaraku mendadak hilang. Aku tak kuasa menahan laju air mata. Aku mendadak histeris. Apalagi, mendadak televisi di bangsal tempatku dirawat itu mengabarkan nama Sari ada di pesawat yang jatuh siang tadi.
“Semua ini salahku!”
Aku hanya bisa membatin tak percaya. Seandainya, Sari tak kuminta ke ibu kota. Ia pasti akan baik-baik saja di rumah. Ia akan hidup sederhana di desa. Lalu, menikah dengan Mas Apin yang begitu dicintainya. Garis nasibnya tak akan bertemu dengan kecelakaan pesawat itu.
Hanya saja, aku memintanya untuk ke Jakarta. Bukan garis nasib baik yang berubah malah kabar kematian yang siap untuk dikabarkan.
Aku mendadak pusing dengan pikiran ini. Mengapa aku mengundangnya ke sini sementara tubuhnya tak sampai malah nyawa yang menghilang? Mengapa?
Ah!
*****
“Naila, kamu tidak apa-apa?” tanya Mas Apin.
Lelaki gagah itu lalu menunjuk angka tiga di jarinya. Seolah-olah dia mengatakan bahwa aku sudah tiba bulan terbaring di rumah sakit.
Tak ada aktivitas syuting yang akan kujalani dengan Sari. Perempuan itu memfilmkan dirinya dengan cara lain. Ia menjadi pemeran atas namanya sendiri.
“Naila, tadi dokter mengabarkan bahwa kamu bisa pulang hari ini. Aku akan menemanimu,” ungkap Mas Apin membuatku menganggukkan kepala.
Lelaki berkulit hitam legam itu menuntun tubuhku ke kursi roda. Kemudian, ia membereskan pakaianku. Lalu, beberapa karyawan menejemenku datang membantu pekerjaan Mas Apin.
Setelah itu, Mas Apin mendorong kursi rodaku ke beranda rumah sakit. Para pemburu gosip artis menunggu suaraku.
Aku bungkam. Tak ada yang bisa kujelaskan. Kecuali, aku sangat kehilangan. Kehilangan harapan atas garis hidup Sari. Kehilangan harapan untuk menghabiskan waktu syuting bersama Sari. Kehilangan harapan untuk menjadi saksi kasih Sari dan Mas Apin.
Aku bahkan kehilangan sebelum memiliki Sari sebagai rekan kerja dan sahabat yang baik. Aku telah kehilangan segalanya.
“Kamu masih memiliki aku, Nai,” bisik Reno yang tiba-tiba datang di belakangku.
Kutatap wajah lelakiku itu, ia sama seperti Mas Apin. Reno tak menyalahkanku atas keadaan yang terjadi. Namun, melihat wajah lelaki itu, apakah harapanku bersamanya akan turut jatuh. Apalagi, selama tiga bulan ditemani Mas Apin, rasaku padanya tak lagi sama.