Ketidaksadaran
Gelap itu berhasil menguasai pikiranku. Keberhasilan gelap itu juga ternyata membuatku tak sadar diri. Begitulah kata yang diuraikan Ibu. Aku segera memandang perempuan itu. Perempuan itu masih tersenyum begitu tulus, tapi penuh kekhawatiran.
“Bagaimana mungkin bisa pingsan?” tanya Askara yang masih saja menggunakan kepingsananku sebagai konten Youtube-nya. Untungnya Askara itu adikku satu-satunya, jika tidak pasti aku tidak terima ketidaksadaran diriku menjadi konten untuk menghibur beberapa subscriber-nya.
“Kak,” panggil Askara membuatku sedikit menoleh.
Aku enggan menjawab pertanyaan Askara. Bukan karena malas, tepatnya bingung menjelaskan secara detail. Terlebih persoalan semalam membuatku serasa akan kehilangan ibu selamanya. Ibu yang pergi bersama lelaki kekar yang tak kukenali. Lelaki itu hanya menyeringai membisikkan ketakutan.
“Ibu, benar tidak akan ke mana-mana?”
Ibu menggeleng.
“Halo, Gaes. Aku tanya nggak dijawab. Eh, Kakak malah nanya hal lain ke Ibu,” sambung Askara. “Kak, kita ini kan di sini mau ke mana-mana. Makanya buruan beberes!”
Mendengar rencana Askara itu, aku segera langsung mengingat jadwal yang telah kami bikin bersama untuk berlibur ke beberapa objek wisata yang ada di Situbondo.
Dermaga Patah Hati
Objek wisata yang pertama kami datangi bernama Pantai Pasir Putih. Dari penginapan yang berada di jalan WR. Supratman, kami cukup menempuh sekitar 30 menit. Jalanan ramai lancar.
Sesampainya di lokasi tersebut, kami langsung membayar tiket yang ramah di kantong. Hanya lima ribu rupiah untuk pengunjung dewasa, sedangkan anak kecil tidak dipungut biaya. Mobil kami hanya mendapatkan biaya parkir sepuluh ribu. Tentu jika dibandingkan dengan beberapa pantai di Bali yang gratis, lokasi ini bisa terbilang mahal. Namun, jika dipikir-pikir dari mana pendapatan daerah jika digratiskan. Kalau Bali banyak tempat wisatanya, juga dikenal oleh banyak turis mancanegara. Sementara, kabupaten ini baru saja menggalakkan diri dengan menggunakan tagline Tahun Kunjungan ke Situbondo.
Bagi sebagian orang, terdapat anggapan semua yang ada di alam itu harus digratiskan. Sebab Tuhan telah menciptakan sedemikian indahnya. Tinggal manusia menikmatinya. Sementara itu, bagi sebagian yang lain, wisata yang ada di alam itu perlu dipelihara dan dirawat. Makanya butuh duit yang tak sedikit. Terlebih juga pembangunan fasilitas yang mutlak diperlukan. Apa pun itu, bagiku itu tak penting. Aku hanya ingin menikmati keindahan Pasir Putih.
Menikmati keindahan Pasir Putih yang pertama kali kami lakukan adalah bermain banana boat. Seperti banana boat pada umumnya, kami dilengkapi dengan pelampung. Lalu, setelah siap, barulah banana itu mengitari laut yang begitu biru. Hingga akhirnya, niat jahat si pengemudi muncul. Kami dijungkarbalikkan sehingga kami kehilangan kesimbangan. Di sinilah titik keseruannya.
Tak cukup sampai di situ, kami langsung berlari menuju dermaga Pasir Putih. Dari dermaga ini, kami kembali harus merogoh kocek sebesar dua ribu. Anehnya, di dermaga itu, Askara tidak bisa mengambil video untuk vlognya. Tak sampai di situ, hapeku dan Ibu langsung mendadak mati.
Di tengah kebingungan itu, aku memandang ke ujung dermaga. Aku melihat seorang gadis yang memakai seragam SMA beradu pandang denganku. Pandangannya begitu kosong. Namun, begitu menyakitkan.
Melihat perempuan itu, aku langsung teringat kisah Dermaga Patah Hati karya Sungging Raga. Cerita pendek tersebut bercerita tentang seorang gadis yang menunggu kekasihnya sejak lulus SMA hingga beberapa tahun. Kesetiaan perempuan itu juga berubah menjadi cerita baru seakan dongeng yang telah dicekoki sejak lama. Walaupun begitu, eksistensi gadis itu masih dipercaya oleh banyak orang bahkan hingga kini.
“Mas, ayo kita pergi ke destinasi selanjutnya!” titah Ibu yang seperti ingin mengalihkanku pada pandangan gadis SMA itu.
Aku menggeleng lemah. Aku ingin menuntaskan hasrat keingintahuan tentang gadis itu. Maka, langkah kakiku segera bergerak ke arah gadis itu. Hanya saja, tubuh Ibu langsung menghadang. Matanya menatapku dengan perasaan tak nyaman.
Lingkaran Kenangan
Akhirnya, aku mengikuti saran Ibu. Kami melanjutkan ke destinasi wisata lainnya bernama Kampung Kerapu. Penamaan kampung ini dikarenakan ada banyak rumah di tengah laut yang membudidayakan beberapa jenis ikan kerapu. Untuk menuju ke tempat tersebut, para wisatawan perlu menggunakan perahu. Sementara itu, kami tak melakukan itu.
Kami hanya berkeliling di atas dermaga yang berbentuk hati jika dilihat menggunakan drone. Dari hasil keliling itu, kami bisa langsung menikmati keindahan panorama laut dan gunung sekaligus.
Askara yang mengetahui pemandangan indah itu tak henti-henti mengabadikan momen. Ia juga meminta para pengikut di Channel Youtube untuk mengunjungi lokasi ini. Keseruan dan kesenangan, adikku itu, lebih banyak dibandingkan perjalanan saat di Pasir Putih.
“Mas, kita main permainan air yuk!” tunjuk Askara.
Aku menatap Ibu. Perempuan itu memberikan kode agar aku menuruti anak bungsunya.
Kami pun segera ke titik tujuan. Namun, langkah kaki tiba-tiba berhenti, Ayah dan Hantu Pelakor yang membawanya keluar dari rumah juga ada dan bergerak ke arena permainan.
Aku dan Ibu membuang napas kasar. Sementara, Askara masih kebingungan dengan kami yang tak lagi bergerak.
“Askara, kita nggak jadi main ya!” pinta Ibu membuat wajah Askara kesal.
Bocah itu meskipun tampak kesal, tetapi menganggukkan kepala. Ia benar-benar setuju tanpa sedikit pun penolakan.
“Sudah, ayo!” ajak Ibu untuk pergi dari tempat ini menggunakan sisi lingkaran yang berbeda agar tidak bertemu dengan dua orang itu.
Aku mengangguk pasrah. Namun, lingkaran kenangan tentang Ayah dan Hantu Pelakor itu merengsek maju di atas kepala. Seharusnya mereka tak merusak perjalanan kami.

Kutukan Kenangan Ilustrasi Reza Fairuz/Radar Banyuwangi
Rumah Kepulangan
Kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Blekok. Tempat ini menjadi rumah kepulangan untuk kawanan blekok sawah. Sayangnya, saat kami berada di sana. Blekok itu tak dapat kami temui. Memang kami mengunjungi saat siang, bukan sore seperti yang dianjurkan.
Pun, di sana, kami menikmati hutan mangrove sekitar lima hektar. Kami hanya perlu berjalan di atas dermaga kayu yang begitu panjang. Seusai itu mengambil foto di beberapa spot. Lalu, kembali ke titik awal dermaga.
Askara yang sudah kehilangan minat, tak lagi semangat ke destinasi itu. Makanya, saat melihat ada musala di tempat wisata ini, kami berhenti sejenak. Bocah itu pun memilih melelapkan diri dalam pangkuan ibu. Sementara aku sibuk menyibak kenangan yang semestinya harus pergi.
“Ibu yakin kamu kecewa dengan Ayah,” Ibu memulai perbincangan membuatku menatap wajah Askara yang telah lelap.
Apabila dibandingkan denganku, Askara jauh lebih tidak beruntung. Ia ditinggalkan Ayah sejak dalam kandungan. Keberadaannya juga tak mendapatkan tempat di sisi Ayah. Makanya, kami memutuskan untuk tidak mengenalkan Ayah padanya. Kami cukup menceritakan bahwa Ayah telah mati. Walaupun, kematian itu bukanlah teorisasi perpisahan antara jasad dan nyawa. Namun, kematian hati yang membuatnya meninggalkan kami.
“Mas?”
Aku mengangguk mantap. Kecewa sudah pasti. Namun, kekecewaan itu tak lagi berarti. Ayah telah benar-benar memilih pergi.
“Kita akan melanjutkan perjalanan ya, Bu? Kita tunda hingga sore ya?” tanyaku mencoba mengalihkan perhatian.
“Perjalanan ini tak akan pernah usai, jika kenangan datang meminta perhatian, Mas.”
“Sudahlah, Bu. Kenangan ini bukan kutukan. Kita akan pergi dengan ketenangan.”
Ibu mengangguk setuju. Wajahnya begitu cerah. Seolah semangat telah menjalar di pipinya. Melihatnya begitu, aku merasa bahwa ibu adalah tempat pulang ternyaman yang pernah kudapatkan. Lalu, biarlah kenangan datang meminta perhatian, asalkan kenangan itu tak mengusik hidup kami yang sudah nyaman.