Mami pulang lebih lambat dari biasanya. Aku dan Papi menunggu kedatangan perempuan terkasih itu hingga satu jam lebih untuk sekadar makan malam bersama. Aku pun meminta Papi untuk mengabari Mami, sungguh aku takut terjadi apa-apa dengan perempuan itu.
“Sudah, Dinda tenang saja,” tanggap Papi.
Papi begitu enteng seperti biasanya. Padahal, di luar sana seringkali terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ketika malam datang. Apalagi, aku pernah punya kenangan kehilangan seseorang saat petang mulai datang.
Jarum jam dinding terus bergerak ke arah kanan. Aku tidak boleh membiarkan Mami sendirian di luar sana. Maka, aku cepat-cepat meninggalkan meja makan, lalu masuk ke kamar untuk mengambil jaket dan ponsel. Papi yang melihat gerakan serba cepatku hanya memandang aneh tanpa sedikit pun berkomentar.
Tepat ketika aku membuka pintu beranda rumah. Mami datang. Ia tidak sendiri, tetapi membawa seseorang di balik punggungnya.
“Mami!” pekikku senang atas kedatangan perempuan terkasih itu. “Mami bareng siapa?” lanjutku bertanya.
Orang yang berada di belakang punggung Mami memunculkan diri membuatku berteriak kesenangan memanggil nama lelaki itu. Mami yang mengetahui itu ikut tertawa kegirangan. Papi kemudian bergabung bersama kami. Ia dan Mami seolah-olah telah mempersiapkan ini semua.
“Hadi, kamu makan yang banyak ya!”
Hadi mengangguk mantap. Wajah lelaki itu begitu cerah. Ia seperti melihat masa depan setelah keluar dari pusat rehabilitasi barang-barang haram itu. Seusai makan malam, Hadi langsung masuk ke kamar yang telah dipersiapkan oleh asisten rumah tangga. Sementara aku langsung dipanggil Papi dan Mami menuju kamar mereka.
Mami langsung memulai cerita mengenai awal-mula Hadi bersamanya. Ternyata Mami dan Papi sepakat untuk menjadikan Hadi layaknya anak di keluarga ini. Mengetahui itu, alisku langsung bertaut bingung. Bukan apa-apa, sebelum mereka membawanya ke sini, mereka sudah tahu kalau aku memiliki rasa lebih kepada anak itu. Bukankah tidak bahaya membawanya ke sini?
Anehnya, Papi dan Mami merasa biasa saja. Sebab, nantinya Hadi akan ditempatkan di paviliun belakang rumah. Jadi, ia tidak akan benar-benar satu rumah dengan kami.
“Apa Hadi tidak memiliki keluarga lain, Mi?”
Mami menggeleng lemah. “Hadi bukannya tidak memiliki keluarga lain. Namun, keluarganya baik dari pihak ibu maupun pihak ayahnya tidak mau mengurusnya.”
Aku mangut-mangut mengerti. Perpecahan dalam keluarga Hadi sudah kudengar sebelum dia berkenalan dan menyentuh barang-barang haram itu. Diawali dengan kejadian ibunya yang ketahuan selingkuh, sementara ayahnya yang terlalu cinta tak pernah menegur kesalahan itu.
Petualangan Ibu Hadi akhirnya menjadi petaka tatkala Ayah Hadi kehilangan batas sabarnya. Lelaki paruh baya itu membuntuti istrinya. Lalu, pertarungan antara suami sah dan selingkungan pun terjadi. Anehnya, Ibu Hadi lebih memilih lelaki itu.
Hadi harus tinggal bersama Ayahnya yang kehilangan gairah hidup. Lelaki yang seharusnya mencari nafkah itu malah berhenti kerja dan bermalas-malasan. Tak sampai di situ, minuman keras yang dulunya dijauhi menjadi teman sejati.
Aku menjadi saksi atas cerita-cerita itu langsung dari Hadi. Aku hanya bisa memberikan kekuatan dan semangat pada lelaki itu. Namun, tentu pertahanan Hadi bisa saja jebol seketika. Ia pun masuk dalam lingkaran setan dengan mencoba barang haram itu.
Hadi akhirnnya diciduk polisi. Ayahnya yang mengetahui laporan itu menjadi kebingungan. Ia seperti merasa bersalah. Ibunya yang bersama lelaki lain juga turut merasa bersalah. Anehnya, bukannya memberi dukungan, kedua orang tua itu memilih menuntaskan nyawa dengan cara tragis. Kehancuran Hadi menjadi berlipat-lipat saat itu.
Semua kenangan masa lalu Hadi harus terkubur dalam. Ia harus bangkit. Barangkali dengan tinggal bersama kami, hidupnya lebih cerah dari sebelumnya.
“Kalau soal sekolahnya, bagaimana Mami?”
“Semuanya belum berakhir. Ia bisa mengikuti kejar Paket C. Setelah itu, kalau mau kuliah tinggal memilih jurusan yang sesuai dengan keinginannya,” jelas Mami sambil melirik Papi.
Aku langsung memberi jempol kepada kedua orang tua itu. Mereka begitu kompak untuk berbuat baik kepada Hadi.
****
Keesokan harinya, aku membantu mengurus perlengkapan Hadi untuk persiapan Kejar Paket C. Ia kubantu untuk mempelajari soal-soal prediksi Ujian Nasional (UN) tahun ini. Untungnya, Hadi di sekolah termasuk dalam jajaran sepuluh besar, makanya ia bisa cepat mengerti.
Barulah usai ujian, Hadi kami tanyai pendapat jurusan kuliah yang ingin dia ambil. Ia ingin mengambil kuliah di Fakultas Hukum di universitas yang sama denganku. Pilihannya itu berdasar dari traumanya di masa rehabilitasi. Katanya, perlu banyak yang diedukasi agar tidak memiliki kesalahan yang sama dengannya. Sebab, narkoba bukanlah solusi menghindar dari masalah, tetapi menyebabkan masalah baru.
“Papi, setuju!” ungkap Papi yang tiba-tiba bergabung bersama kami.
Lelaki itu masih mengenakan seragam pengabdi keamanan negara tentu keberadaan Hadi sebagai mantan pecandu yang bisa bebas dari rehabilitasi dapat dijadikan role model bagi orang lain. Selain itu, Papi pasti memiliki alasan lain yang tidak bisa kuprediksi.
“Papi setuju karena biar berwarna keluarga ini. Mami bekerja sebagai guru, Papi pengabdi keamanan, Dinda mengambil jurusan kedokteran, dan Hadi mengambil jurusan Ilmu Hukum. Biar di rumah bisa membawa cerita yang berbeda-beda,” tukas Papi membuat kami semua tersenyum senang.
“Terima kasih, Mami, Papi, dan Dinda, sudah menerimaku hingga sejauh ini,” ungkap Hadi, tulus.
Kami bertiga kompak mengangguk. Bagi kami, apa yang dilakukan untuk Hadi adalah kewajiban. Sebab jika ia tidak diterima oleh orang-orang di luar sana, bukan tidak mungkin kembali menempuh jalan yang salah. Lagian, kalau ia tinggal di sini, aku bisa dengan mudah memantaunya, meskipun kutahu, ia belum tentu jodoh yang digariskan untukku.
“Sebelum makan malam, Papi akan mengumumkan sesuatu!”
Aku langsung memasang telinga dengan saksama. Sementara, Mami yang telah menyendokkan nasi dan sayur mendadak menghentikan aktivitasnya.
“Selama enam bulan, Papi mendapatkan tugas keluar negeri!”
Pengumuman dari Papi membuat daya kejut yang terlalu bagiku. Sebagai prajurit, tugas keluar negeri pasti berhubungan dengan perang. Kalau sudah begitu, aku di rumah hanya menunggu dengan was-was atas kedatangannya. Begitu juga perasaan yang pasti dirasakan Mami.
“Oleh karena itu, Papi minta kepada Hadi untuk menjaga dua wanita cantik ini ya!”
Hadi mengangguk-ngangguk. Sementara, aku masih diliputi rasa sedih ditinggal Papi.
****
Keberangkatan Papi ke negara luar itu akhirnya benar-benar terjadi. Ia memelukku dengan begitu erat. Tangis yang menetes di pipi langsung dihapusnya begitu saja. Sementara, Mami seperti menahan laju air mata. Dan, tentu, Hadi tak perlu berekspresi lebih atas hal ini. Ia masih baru beberapa bulan dan belum mengalami kejadian Papi yang harus berangkat ke medan perang.
“Papi pasti kembali!”
Kuabadikan momen keberangkatan Papi di status WA dan Instagramku. Anehnya, orang-orang malah mengkhawatirkan keberadaanku. Katanya, aku perlu waspada dengan Hadi. Bisa saja ia berbuat yang tidak-tidak mengingat latar belakangnya yang suram.
Ada pula yang mengkhawatirkan jika Mami bisa kepincut Hadi. Membaca komentar terakhir itu membuatku buru-buru mematikan ponsel. Aku pasti bisa meyakinkan peristiwa itu tidak akan pernah terjadi.
Benar saja, beberapa hari setelah Papi berangkat kehidupan kami seperti biasa saja. Hadi dengan sigap membantu pekerjaan rumah layaknya lelaki. Kecuali, pada hari ketiga belas Papi berangkat, Mami meminta Hadi untuk membereskan kran air di kamarnya yang macet. Anehnya, pikiran negatif bersarang di kepalaku.
Aku pun membuntuti Hadi. Lelaki itu melepas bajunya saat hendak membereskan kran. Otot lengannya terasa sempurna. Begitu juga roti sobek yang tergambar jelas di perutnya. Lalu, tiba-tiba Mami datang dari dalam kamar mandi. Tangan perempuan yang masih cantik di usia lima puluhan itu meraih tangan Hadi. Aku benar-benar tak percaya dengan pemandangan ini.
“Hadi, sepertinya ada yang ingin kau katakan. Wajahmu terlihat begitu gusar?” tanya Mami membuatku semakin bergetar untuk melangkah.
Jangan-jangan keduanya memang memiliki rasa di belakangku dan Papi. Sungguh, aku tak dapat mengampuni keduanya jika itu benar-benar terjadi.
“Maafkan aku, Mami. Aku memiliki rasa itu.”
Demi mendengar ungkapan itu, ototku langsung lemas seketika. Sementara, Mami tersenyum senang. Ia seperti menjadi pemenang atas rasa ini.
Lalu, seperti biasanya, Papi datang dari arah belakang. Sepertinya, ia mendengar penuturan Hadi. Lelaki itu juga siap dengan pistol di saku celananya.
Aku langsung menjerit ketakutan. Sekalipun Hadi dan Mami salah, aku tak ingin keduanya ditembak oleh Papi. Sungguh, aku tak bisa menerima jika itu terjadi.
“Jangan, Papi!” teriakku membuat tiga orang itu menoleh.
Mami mendekat padaku. Ia memelukku dengan erat dari arah belakang. Sementara, Hadi menatapku heran. Kaosnya penuh dengan air.
“Kamu kenapa? Kok bisa manggil Papi, bukannya Papi masih dinas di luar negeri?” tanya Mami sambil menatapku heran.
Ah! Syukurlah, aku tadi hanya berhalusinasi saja.
“Kamu takut ya, jika Mami berbuat macam-macam sama Hadi?” tanya Mami. “Tenang saja, Mami sudah punya Papi,” tambah Mami membuatku mengangguk penuh percaya.
Malang, 28 Februari 2021 Pukul 21:59.
2 Comments. Leave new
Berapa kali mengedit cerpen ini sebelum dikirim ke media? Beberapa kalimat terlihat tidak padu padan alias agak typo juga dek.
Monggo diberi komentar di sini setelah menemukan typo dan ketidakpaduannya, Mbak.