Laut itu selalu jujur. Laut itu juga menjadikan semuanya serba biru. Sekalipun, pelajaran laut tak benar-benar bisa dikuasi oleh Madin. Terlebih, Bapak benar-benar sempurna menghapus jejak laut di benaknya. Malah, lelaki bertubuh matahari itu tak menjadi Bapak sebagaimana Bapak yang berada di kawasan pesisir. Serupa mengajak anaknya ke tengah laut. Lalu, mengambil pelajaran satu demi satu demi menjaga segala nuansa yang biru.
Madin sekalipun menyesali perbuatan Bapak yang tak mengajarinya tentang segenap pelajaran laut. Lambat laun mengerti. Tentang keinginan Bapak yang tak berharap ia memiliki nasib yang sama. Menjadi nelayan. Meninggalkan keluarga dan bertarung dengan ombak ganas. Padahal, Madin tak merasa sedikit pun salah dengan pekerjaan itu. Malah, dari pekerjaan itu pula membuat Madin dan ketiga kakaknya bisa meraih mimpi masing-masing.
Laut benar-benar memberi mereka bekal yang tak pernah kunjung habis. Bahkan, hingga kini, saat Bapak harus berjuang melawan rasa sakit.
“Ajaklah, muridmu ke laut. Ajarkan segala yang biru!” pinta Ibu.
Madin menatap Bapak. Apa benar ia harus mengajak tamu yang datang mendadak itu menuju laut? Sungguh, menatap laut membuatnya mengingat saat Bapak masih perkasa dulu. Saat mengantar Bapak ke ujung dermaga, lalu menunggu kapal yang membawa lelaki bertubuh matahari itu hilang. Kemudian, selepas itu, ia kembali menuju rumah. Menemani dan membantu ibu. Hingga esok harinya, kabar kedatangan Bapak terdengar dengan membawa hasil laut. Saat-saat itu, Madin kecil benar-benar bahagia. Rutinitas itu pun terpelihara hingga jelang SMA.
Barulah ketika SMA, Bapak melarang keras Madin mengantar lelaki itu. Kesibukan di sekolah yang begitu siang juga turut membuat ia tak memiliki kesempatan menikmati rutinitas itu. Untungnya, Bapak memberikan opsi lain yang menggiurkan.
“Madin!” Ibu memanggilnya.
Madin segera menggusik kenangan-kenangan indah itu. Ia memandang Ibu dan tamunya yang datang dari jauh. Kemudian, mengulum senyum.
“Bawalah pancing ini dan belilah umpan!”
Memancing. Ya, Madin langsung ingat akan pengganti rutinitas mengantar Bapak. Setiap Sabtu malam, ia memancing bersama Bapak bahkan hingga dini hari. Keseruan itu bertambah ketika umpannya berhasil di makan ikan. Dengan memancing, Madin mendapatkan waktu yang banyak bersama Bapak. Sesekali mengobrol, sesekali termenung, dan sesekali bersabar jika umpan tak segera menarik ikan dalam pancingan.
“Madin!” Ibu memanggilnya lagi.
Melihat itu, ia segera mengambil tangan ibu, menciumnya, lalu pergi ke luar rumah.
**
Sampai di Dermaga Panarukan Baru, Madin segera memarkir motor tak jauh dari tempat pemancingan itu. Ia segera mengeluarkan dua pancing yang telah dibawa, juga umpan agar menarik ikan. Ada dua jenis umpan yang ia bawa, yakni udang dan rotos[1]. Dua jenis itu diletakkan di pancingan yang berbeda. Kemudian, Madin memilih menggunakan pancing yang berisi rotos dan tentu muridnya menggunakan pancing yang berisi umpan udang.
Setelah pancing menyentuh air laut. Madin segera mengembuskan napas panjang. Ia menerima segala aroma laut yang menusuk dadanya. Aktivitas itu membuat si murid memerhatikan Madin dengan begitu intensif.
“Ada apa?”
Akhirnya, Madin mengeluarkan kalimat pertamanya.
“Sekarang saya mengerti kenapa Bapak pergi,” jawab si murid.
“Lalu?”
Murid perempuan Madin itu tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Kemudian memberikan dua jempol.
“Kehadiran kamu di rumah juga begitu penuh kejutan,” terang Madin.
“Kok bisa?”
Madin pun segera berkisah, jika siang tadi Bapak berharap ia segera menikah. Katanya mumpung Bapak masih ada. Permintaan Bapak itu begitu sulit untuk diwujudkan, terlebih tak ada calon potensial. Kehadiran murid perempuannya itu malah serupa oase di padang pasir. Seolah-olah perempuan itu menjadi jawaban atas keinginan Bapak.
“Wow!”
Hanya kata itu yang terlontar dari mulut manis perempuan kelas dua belas itu. Sebelum, akhirnya keduanya disibukkan dengan gerakan pancing yang meminta untuk diambil hasilnya.
**
“Saya siap menjadi calon potensial bagi Bapak.”
Pernyataan murid Madin memberi daya kejut sendiri. Ia benar-benar tak menyangka muridnya menaruh harap atau hanya sekadar bercanda. Tetapi, ketika melihat wajah perempuan itu. Madin melihat ada aroma kesungguhan dan harapan yang sulit dijelaskan.
Sore hampir tenggelam. Dan, mereka harus segera kembali ke peraduan. Tapi, pernyataan murid itu benar-benar membuat Madin salah tingkah. Ia bahkan merasa kakinya tak lagi menapak di beton dermaga.
“Tidak perlu dijawab sekarang, Pak,” tukas muridnya, “Ayo, kita pulang!” ajak perempuan itu kemudian.
Mereka pun berjalan kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan menuju tempat yang tak sekadar menjadi sarana pelepas raga dari penatnya aktivitas itu, keduanya tak sedikit pun melontarkan kata. Kata-kata yang berloncatan dalam pikiran keduanya, seolah-olah hilang, sekalipun meminta penjelasan. Hal itu terpelihara keduanya hingga sampai rumah.
**
Ibu membuka pintu rumah dengan wajah cerah. Perempuan berwajah firdaus itu segera mengambil hasil tangkapan Madin dan muridnya.
“Kita bakar ya!” pinta Ibu juga sebagai petanda agar murid anaknya ikut menikmati hasil pancingan.
Madin hanya mengangguk. Begitupun muridnya. Usai itu, ia meminta diri melihat Bapak yang terbaring lemah. Sedangkan, si murid ikut Ibu mempersiapkan ikan-ikan itu menjadi lauk yang penuh kenikmatan.
Di hadapan Bapak yang sedang tertidur lelap, Madin kembali menimang-nimang perkataan muridnya. Apa mungkin perempuan itu bisa menjadi menantu yang tepat bagi orang tuanya? Madin bukannya ingin pilah-pilih, pertanyaan dalam hatinya itu sekadar memastikan bahwa rasa itu tepat atau tidak. Terlebih usia si murid masih tujuh belas tahun. Pun, jika perempuan itu menjadi jawaban atas permintaan Bapak. Ia juga harus menunggu setidaknya sampai perempuan itu mendapat ijazah SMA. Lalu, untuk hidup selanjutnya. Madin agak pesimis dengan kondisinya sekarang. Bukan berarti ia tak sadar kuasa Tuhan yang memberikan rezeki tanpa jalan yang disangka-sangka. Tetapi, sebagai seorang lelaki yang kelak menjadi pemimpin rumah tangga, ia harus bisa menghidupi keluarganya kelak. Apalagi, menikah bukan cuma antara ia dan muridnya, tetapi juga menyatukan dua keluarga.
Apa iya keluarga muridnya itu bisa menerima kondisinya?
Ah. Pertanyaan itu benar-benar menyibukkan pikiran Madin. Madin pun memilih untuk menyegarkan tubuhnya dalam baluran air kamar mandi. Tetapi, setelah melakukan akitvitas membersihkan tubuh itu. kepalanya masih saja memikirkan muridnya. Padahal, ia sangat berharap pikiran itu luruh bersama dengan busa sampo.
**
“Kita makan sama-sama ya!”
Begitulah ajakan Ibu membuat murid Madin seolah bagian dari keluarga sekaligus menjadi bagian dari harta yang paling berharga. Acara makan itu juga membuat Madin melihat ketulusan muridnya padanya, juga sambutan ibu yang begitu hangat pada perempuan itu. Si murid juga tampak begitu luwes dan tak malu-malu membuat situasi makan begitu menyentuh kalbu.
Acara makan malam itu meski hanya bertiga itu segera diakhiri. Si murid perempuan segera meminta izin pamit pergi. Katanya, malam ini ia menginap di rumah kakak dari Ayahnya yang berada di desa seberang. Sungguh jika seandainya tak ada aturan di lingkungan rukun tetangga, pastilah ibu mengajak murid Madin untuk menginap di gubuk derita mereka. Tetapi, aturan adalah aturan yang harus ditegakkan. Dan, ibu juga Madin tahu hal itu. Makanya, mereka begitu saja mengantar tamu itu ke beranda rumah.
Bapak yang tergolek di atas kasur di ruang tivi langsung dipamiti tamu itu. Perempuan itu mencium tangan Bapak begitu takzim. Bapak tanpa kata tapi menyiratkan kasih sayang yang luar biasa. Dan sesuatu yang tak terduga, ketika Madin melihat butiran kristal itu muntah dari mata Bapak. Si murid menghapus dengan tangan kanannya, seolah berkata bisa menjadi pelipur atas kesedihan dan kesakitan yang menjangkiti Bapak.
Madin tergolek tak percaya akan ikatan yang tercipta antara Bapak dan muridnya. Apakah ini sudah waktunya? Ia bertanya sejenak dalam pikirannya. Di sana, tak juga ditemukan jawaban atas pertanyaan itu. Tapi, melihat kejadian dan kejadian di hari ini, tiba-tiba timbul keyakinan bahwa inilah saatnya.
**
Madin kembali pergi ke laut pagi-pagi sekali. Ibu yang tak pergi ke pasar pagi ini membuatnya bisa leluasa pergi ke laut begitu pagi. Ia menunggu matahari terbit kali ini di penghujung dermaga. Kepergiaannya yang sendiri itu juga membuatnya bisa mengenang kebersamaan yang tercipta bersama Bapak selama ini.
Aroma dan suasana laut langsung masuk ke dalam tubuh Madin serupa angin yang menusuk-nusuk. Lelaki itu tersenyum, lalu mengingat kejadian kemarin. Ia memandang laut langit. Sang surya sebentar lagi datang, kehangatan langsung tercipta kemudian. Ia kembali tersenyum. Tersenyum begitu senang. Hingga tak sadar membuat para pemancing yang berdatangan menganggap ia orang gila baru. Ia tak peduli. Benar-benar tak peduli.
Setelah puas menikmati kekhusyukan pagi itu, Madin langsung menstater motornya menuju rumah. Di rumah yang segala keindahan itu tercipta membuat Madin tak percaya. Bahwa murid perempuannya ada di depan mata. Dan, kini membawa kedua orang tua.
Madin tak tahu apa yang ada dalam pikiran ketiga tamunya itu. Tapi, jika melihat raut wajah tiga orang itu, ia yakin kebahagiaan baru akan tercipta.