Ke mana kaki harus melangkah, jika ia tak lagi ada di depan mata?
Aku segera pamit kepada guru yang mengajar di kelas. Setelah itu, mencari Rinata ke Taman Firdaus. Sayangnya tak ada satu pun orang di taman dekat perumahan kami.
Ah. Bodoh juga! Jika Rinata berada di Taman Firdaus, pasti Ibu menemukannya lebih dulu.
Migranku kumat memikirkan Rinata. Sungguh melihat nasibnya yang tragis itu, aku berniat untuk mendampinginya dengan cara menikahinya terlebih dahulu. Aku tak peduli sekalipun ia telah kehilangan surga keperempuannya. Bukankah itu tidak masuk dalam kategori perempuan yang layak nikah. Apalagi ia harus kehilangan itu dengan terpaksa.
Ah!
Ingin rasanya aku mengumpat dengan memanggil nama-nama binatang yang dulu sering kurapal. Tapi, hatiku malah bertambah beristighfar. Di tengah kebingungan disertai kekesalan itu, aku mendapat telepon dari Ibu.
“Tadi Ibu buka grup WA ada foto Rinata di terminal Pasar Minggu.”
Mendengar penuturan Ibu, aku segera meluncur ke terminal yang buka setiap hari, tidak sesuai dengan namanya itu. Tentu demi mencapai terminal tersebut, aku harus menerobos jalanan dengan ojek online. Sengaja kupilih roda transportasi itu, semata-mata demi efisiensi waktu. Mengingat jika menggunakan taksi dan kendaraan roda empat pasti kemacetan menyambut dengan gembira.
Segera kubuka aplikasi salah satu ojek online dari layar Android. Setelah itu, aku memesan dan menunggu driver datang. Dan memang dasar sahabat mengurai kemacetan, ojek pesananku datang tak begitu lama.
“Ke mana, Mas?” segera ia bertanya.
“Terminal Pasar Minggu.”
Letak Terminal Pasar Minggu yang kini semakin jauh dari rumahku serta aktivitas warga tidak menyurutkan untuk menggapainya. Semua demi menemukan Rinata. Sekitar tiga puluh menit, aku telah sampai di terminal yang tampak tak berpenghuni itu. Jelas saja, lokasi terminal yang mulai beroperasi pada dekade 1990-an itu lebih banyak ambil penumpang di luar terminal. Dan aku kembali merutuki diri, membodohi diri sendiri mengingat terminal itu tak terlihat satu pun jejak Rinata.
Entah mengapa aku merasa jika perempuan itu pergi jauh, kemungkinan besar ke luar kota. Sekalipun bisa saja, ia pergi ke sebuah tempat dengan menggunakan microlet, kopaja, dan metromini, serta berbagai macam bus lainnya yang mengarah ke daerah Jabodetabek.
Aku memenjamkan mata, berharap ada suara yang membisiki hingga bisa memutuskan memilih bus mana. Tapi, yang ada hanya suara untuk mengelilingi terminal tersebut. Mencari jejak Rinata.
Kulirik kanan-kiri, lalu menyapa satu per satu orang sambil menunjukkan wajah Rinata di layar android. Tapi, tak ada satu pun yang melihat.
Lalu, sampailah aku di tempat pinggir terminal. Kutanya lagi mereka satu per satu. Tapi, hasilnya tetap saja nihil. Ah! Ingin rasanya mengeluh, tapi hal tersebut tak boleh kulakukan. Mengingat nasib Rinata yang tidak ada satu pun yang tahu. Bukankah anak yang baru mengalami rasa sakit akibat ayahnya ketahuan korupsi dan kehilangan keperawanan bisa saja melakukan hal-hal yang tidak-tidak.
Ah! Memikirkan hal tersebut membuat rasa ngeri bertambah dalam pikiranku.
Aku menepi sejenak, membeli minuman dingin pada pedagang asongan. Sambil meminum minuman yang katanya menambah ion pada tubuh. Kulihat perempuan seperti Rinata dalam sebuah bus Damri. Segera kukejar bus tersebut dengan sekuat tenaga. Sambil berteriak kencang. Rasanya aku sanggup berlari jauh lebih cepat dibandingkan biasanya. Setelah bus itu berhenti, bukan karena kenek bus melihatku berlari dan berteriak. Melainkan karena ada penumpang yang mau naik. Apa pun itu, aku jadi bersyukur.
Pun, kesempatan tersebut tak aku sia-siakan. Segera kunaiki bus jurusan Bandara Soekarno Hatta itu. Dengan napas ngos-ngosan aku naik sambil memerhatikan wajah satu-satu para penumpang. Perempuan yang kuduga Rinata itu duduk di dekat supir. Segera kudekati perempuan yang memiliki rambut panjang nan lurus itu.
“Rinata, ayo kita pulang! Setelah ini kita menikah!” ajakku sambil menepuk bahu perempuan yang mengenakan kaos berwarna putih.
Perempuan itu menoleh dan sungguh membuatku ingin muntah.
“Aku mau kok menikah sama Abang.” Ucap lelaki cantik berperawakan perempuan itu.
Sontak seluruh penumpang tertawa bukan main. Aku jadi malu sendiri. Segera kumundur mencari tempat duduk yang kosong, sambil memijat-mijat kening.
“Mas mencari pacarnya?” tanya penumpang di sebelahku yang berusia seperti ibu.
Aku tak segera menjawab, tapi kukeluarkan ponsel pintar yang ada dalam kantong.
“Oh, perempuan ini. Tadi katanya mau ke Yogyakarta. Wajahnya capek sekali, rasanya ia punya beban berat.”
Aku segera bersyukur. Sudah ada titik terang atas penjelasan perempuan itu. Langkah selanjutnya adalah mengikuti bus ini sampai ke Bandara Soekarno Hatta setelah melewati Pancoran, Tol Dalam Kota, dan Tol Sediyatmo. Kupejamkan mata sejenak, berharap bisa berisirahat sebelum melakukan perjalanan di Yogyakarta yang entah akan melakukan apa dan bagaimana. Tapi, penumpang paruh baya itu mengajakku ngobrol.
“Pacarmu hamil ya?”
“Ia teman saya, Bu. Ia sedang terkena masalah. Ayahnya ketahuan korupsi, sedangkan ia diperkosa oleh orang tak dikenal. Keluarga saya berusaha menampungnya, tapi ia melarikan diri.” Jelasku berterus terang, bukan bermaksud mengutarahkan aib Rinata.
“Kamu menyukainya?”
Aku mengangguk mantap.
Entah mengapa begitu mudah aku berterus terang pada perempuan yang baru pertama kali kukenal itu.
“Carilah, lalu kamu nikahi!”
Perintah perempuan itu memang menjadi alasanku mencari Rinata, karena mencari perempuan itu seperti mencari surga. Sekalipun surga perempuan itu telah hilang.
Di tengah obrolan itu, Ibu menelponku via WA.
“Kamu di mana?”
“Bus menuju bandara.”
“Rinata katanya ke Yogyakarta.”
Pernyataan Ibu membuatku terkejut bukan kepalang.
“Ibu tahu setelah ada orang yang memberitahu melalui telepon. Tapi, ibu nggak tahu ia siapa. Dari suaranya sih perempuan.”
Penjelasan ibu kembali membuatku bingung. Apa mungkin perempuan yang memberitahu ibu adalah perempuan yang sedang duduk bersamaku. Segera kumenghadap penumpang yang duduk bersamaku. Tapi, tak ada orang di sana. Bersamaan dengan itu, orang-orang di dalam bus itu segera membicarakan aku.
“Ganteng-ganteng stress!”
“Selain suka sama waria, ia juga bicara sendiri!”
Aku tak tahan mendengar suara itu, bagaimana bisa aku disebut stress? Atau memang aku tadi berhalusinasi. Segera kuberdzikir. Karena dengan cara itu aku bisa jauh lebih tenang.
“Halo, kamu tidak apa-apa, Nak?”
Ibu masih menunggu suaraku di ujung sana.
“Aku akan ke Yogyakarta, Bu. Mencari Rinata.”
“Ibu kirimi uang ya! Gunakan seperlunya!”
Lalu, telepon diputus. Dan aku memilih untuk tidur, berharap mimpi segera membawaku menuju bandara.
*
Akhirnya aku sampai juga di bandara. Kulihat jam tangan, dari sana menunjukkan jika lama perjalanan sekitar satu jam lima belas menit. Artinya perjalanan cukup lancar. Setelah itu, aku segera menyelesaikan pembayaran pada kenek bus.
“Sudah ada yang bayar, Mas.”
“Siapa?”
“Empat puluh ribu rupiah.”
Yang ditanya apa, dijawab apa. Begitulah kenek bus yang mungkin kurang fokus itu.
“Maksudnya yang bayar, Pak.”
“Ibu yang duduk dekat, Mas.”
Aku bergidik ngeri, bagaimana bisa perempuan yang tak terlihat orang-orang itu bisa membayarkan uang perjalanan menuju bandara. Ah, aku begitu pusing dengan hal-hal aneh yang kualami sekarang. Daripada memusingkan hal tersebut, aku segera memutuskan menuju loket keberangkatan.
“Tiket kami sudah habis, Mas.” Jelas perempuan yang jual tiket di maskapai A.
Segera kucari di maskapai lain. Untungnya di maskapai F tiket masih tersedia, sekalipun masih berangkat jam 12:45 itu pun jika tidak mengalami kemunduran jadwal. Tapi, aku masih lebih bersyukur. Sebab dengan adanya jadwal tersebut. Bisa membuat jadwal istirahat bertambah. Dan baru saja berusaha memejamkan mata, Dzuhur memanggil.
Segera kutunaikan salat empat rakaat itu. Lalu, memilih untuk tidak tidur. Bukan apa-apa, lebih baik tidur di atas pesawat. Sekalian mengurangi rasa gugup dan takut naik burung besi itu. Apalagi, jika tidur di bandara bisa saja aku tertinggal.
Jam keberangkatan semakin dekat. Aku telah bersiap menuju pemeriksaan. Dan perjalanan siap dimulai.
*
Perjalanan menggunakan pesawat menuju Yogyakarta hampir sama dengan perjalanan menuju bandara dari Terminal Pasar Minggu. Tepat jam dua aku telah berada di Bandara Adisutjipto. Dan setelah ini, aku bingung melangkahkan kaki.
Seandainya tujuan Rinata ke Yogyakarta, bisa saja aku menuju tempat-tempat pariwisata di Yogyakarta. Sekalipun tempat wisata di lokasi yang sering dijadikan tempat syuting film itu ada banyak. Tapi, tujuan Rinata ke Yogyakarta adalah melarikan diri atau menenangkan diri. Tempat apa yang bisa membuatnya tenang. Aku tak tahu.
Di tengah kemelut kebingungan itu, segera kubuka ponsel dan langsung berjelajah di Facebook Rinata. Status terakhir sebelum dia terkena musibah yang bertubi-tubi bisa menjadi petunjuk.
Yogyakarta. Kapan kubisa melihat Sinta dan Rama?
Begitulah bunyi status tersebut yang mungkin menjadi isyarat tempat yang akan dikunjungi Rinata.
Segera tanganku mencari lokasi yang sering digunakan untuk pementasan Sinta dan Rama. Prambanan segera menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Tanpa membuang waktu, aku segera menuju candi yang juga menjadi landmark Yogyakarta selain Borobudur itu. Sama seperti sewaktu perjalanan Taman Firdaus menuju Terminal Pasar Minggu. Aku kembali memilih ojek online.
Pun, dari driver-nya aku mengetahui jika jarak bandara menuju Prambanan sangat dekat. Sekitar tujuh setengah kilometer. Jarak yang ditempuh tidak terlalu lama hanya sekitar empat belas menit. Dan setibanya di candi yang mengisahkan cinta Roro Jonggrang dan Bandung Bandawasa itu aku langsung berkeliling. Tak ada keinginan sedikit pun memotret keindahan Prambanan. Fokusku mencari Rinata. Menemukannya, lalu membawanya kembali ke rumah.
Aku mempercepat mengitari candi itu. Berkeliling lagi, dan lagi. Tapi, jejak Rinata tak benar-benar ditemukan. Akhirnya aku segera ke tempat pengumuman orang hilang.
“Rinata ini aku. Aku mencarimu. Jika kamu ada di sini, segeralah kemari. Kita bicara sama-sama.” Ucapku mengawali pembicaraan. Aku mengambil napas sejenak, “Kita sama-sama punya masa lalu, tapi tidak berarti jalan kita di masa depan tidak sempurna. Sungguh, kuberharap kita bisa menjadi penyempurna antara satu sama lain.” Tutupku, setelah itu menunggu di depan loket pengumuman.
Saat itu jam di tanganku serasa berhenti. Tak ada pun kendali waktu yang membuatku semangat, selain melihat wajah Rinata.
“Mas, kami sudah mau tutup.” Ucap penjaga loket pengumuman.
Segera kuberanjak dari tempat tersebut, sekaligus membuat rasa sadar jika Magrib sebentar lagi menjelang.
Aku pun kembali membuka Facebook Rinata yang juga membuat kesadaranku bertambah. Bahwa Rinata bukan ke Prambanan untuk melihat candinya, tapi untuk menyaksikan pementasan sendratari. Kesadaran yang berlipat-lipat itu, kutambah dengan membilas dan menyapu air wudhu ke dalam sebagian anggota tubuh. Baru setelah menunaikan salat tiga rakaat itu, aku pergi ke tempat pementasan.
Di sana tak ada satu pun suara dari para pemain, hanya gerakan tarian dan bunyi gamelan yang membuat penonton harus fokus sehingga memahami maksud dari pementasan tersebut. selain itu, tedapat spesial efek berupa lampu yang dapat menambah kemegahan pertunjukan ini.
Hingga akhir cerita, Rama mampu merebut Sinta dari Rahwana, tak kutemukan juga jejak Rinata.
Ah!
Telepon segera berbunyi, ketika aku ke luar dari tempat pementasan. Tampak nama Ibu yang mencoba menghubungi.
“Rinata belum kutemukan, Bu. Malam ini aku akan menginap di hotel. Besok akan berusaha mencari tempat sepi dan sunyi.”
“Hati-hati.”
Hanya itu pesan Ibu. Setelah itu, telepon dimatikan. Bertetapan dengan itu, aku melihat orang yang tampak mirip sekali dengan Rinata. Perempuan itu berlari begitu cepat. Aku segera mengejar.
“Rinata!”
Aku berteriak begitu kencang.
Perempuan itu menoleh.
Dan memang benar Rinata.
Aku pun bertambah bersemangat mengejar. Hingga tak sadar jatuh ke dalam gorong-gorong yang begitu gelap dan pekat. Remuk sekali tubuh ketika jatuh ke gorong-gorong yang sebenarnya tak lebih tinggi dibandingkan ukuran tubuhku. Anehnya aku tak bisa menggapai dasar gorong-gorong tersebut. Setelah itu, dari arah berlawanan gorong-gorong ini ada sebuah arus air yang begitu deras.
Aku terombang-ambing begitu lama, hingga tubuh ini tak lagi kuat. Dan saat itu aku merasa telah bertemu dengan kematian.
Kemudian cahaya datang tanpa kusangka-sangka. Di sana aku melihat sebuah masjid megah, ditambah Rinata yang kian cantik dibalut pakaian pengantin. Aku tersenyum membayangkan akan segera mengucap ijab kabul. Tapi, kenyataan berpihak lain. Lelaki yang bersanding dengan Rinata bukan aku.
“Kakak…” suara anak kecil memecah fokusku.
Kupandang bocah manis itu, ia tampak familiar sekali.
“Usia kakak sudah bertambah. Tapi, apa juga menambah kedewasaan?”
Pertanyaan yang begitu menohok dan bisa saja membuatku terjatuh jauh lebih sakit dibandingkan gorong-gorong ini.
“Kak.” Panggil bocah itu sekali lagi.
Dan setelah itu, semuanya kembali gelap.
“Nak …”
Suara ibu dan Ayah bergantian memanggilku.
Aku terbangun dari mimpi yang rasanya begitu panjang. Segera mereka memelukku bergantian. Di tempatku terbangun pula, Rinata telah melingkarkan lengannya pada lelaki dalam mimpiku. Juga, ada bocah itu.
Aku berusaha tersenyum. Melihat Rinata yang tampak bahagia. Dari penjelasan mereka semua aku mengetahui. Jika tubuh yang kini berada di rumah sakit ini begitu lama koma. Tanpa bisa dijelaskan secara medis, hanya saja penduduk menemukanku saat di gorong-gorong.
Aku bertambah migran. Tak menyangka pencarian tentang Rinata membuatku berjalan sedemikian jauh. Atau mungkin ini semua berkaitan dengan masa laluku yang demikian hitam. Tapi satu yang pasti, melihat aroma kebahagiaan Rinata. Sungguh aku begitu senang.
“Ibu, panggil dokter dulu!”
Aku tersenyum lemah. Dan sekitar lima belas menit, ibu bersama perempuan seusianya. Seketika itu, aku mengingat jika perempuan itu lah yang menyuruhku ke Yogyakarta dan mencari Rinata. Kemudian gelap kembali menyelimuti pikiranku.