Si jago merah semakin memerah, menambah kehangatan juga kerisauhan tiada tara. Sementara itu, bus pemadam belum bisa menembus barigade warga yang berusaha memadamkan api. Peristiwa genting itu ditambah dengan masyarakat yang kini menyerah. Bapak-bapak berusaha menyelematkan harta benda, sedang kaum ibu menangis begitu senduh. Namun, dari semua tangisan itu. Tentu yang paling parah dialami oleh kedua istri Ustaz yang masih berada dalam musala.
Sirene pemadam semakin mendekat, membuat masyarakat memberikan jalan. Segera air pemadam disemprotkan pada musala yang baru pertama kali melaksanakan terawih Ramadan ini.
Angin berembus begitu kencang tak seperti biasanya. Api yang sempat padam sebentar kembali menyala.
Tangis kedua istri ustaz itu kembali menyeruak. Mereka tak tahan dengan keadaan yang ada. Pun, jika tidak ditahan oleh kaum ibu yang lain. Tentu, keduanya telah nekat masuk dalam kobaran api yang melahap Musala Nurul Iman itu.
Kemudian hujan datang dengan tiba-tiba. Orang-orang bersyukur. Kaum muda-mudi yang menyenangi drama Korea berspekulasi bahwa saat ini Gumiho sedang menangis. Ada pula dari mereka yang mengatakan jika Ahjusi sedang galau. Apa pun itu, sungguh argumen pecinta drama fenomel asal Asia itu tidak begitu penting. Dibandingkan keselamatan kedua ustaz itu.
“Allahu Akbar!” pekik seorang pemuda.
Akhirnya, setelah kurang lebih tiga puluh menit ganasnya api segera padam.
“Jangan ada yang masuk ke musala ini!” seru petugas pemadam.
Perintah tersebut berlaku bagi para warga, mengingat setelah mengucap kata itu para petugas pemadam segera masuk musala yang memuat sekitar seratus jamaah itu.
Petugas itu pun menemukan dua orang dalam kondisi sedang bertahiyat. Setelah itu, keduanya berucap salam.
“Ustaz….”
Salah satu petugas langsung menyapa.
Kedua ustaz itu tersenyum, kemudian memandang musala yang telah berubah menjadi debu yang bertebrangan.
“Ada kebakaran?” Hari segera bertanya kepada petugas pemadam.
Petugas pemadam yang berjumlah lima orang itu mengangguk mantap. Mungkin di pikiran mereka timbul rasa bingung, apalagi kondisi musala yang hancur lebur.Namun, tidak dengan kedua ustaz yang tidak tersentuh api sedikit pun.
Setelah bersitatap melawan kebingungan masing-masing. Akhirnya, petugas itu membawa kedua ustaz itu keluar dari musala. Anehnya, istri masing-masing ustaz itu pingsan secara bersamaan.
***
Kabar mengenai keselamatan kedua ustaz itu menjadi buah bibir masyarakat Nurul Iman Sekali. Bahkan, kabar tersebut kini berembus dengan semakin kencang gegara kekuatan sosial media.
Liputan besar-besaran itu terus masuk dalam koran, televisi, dan talkshow. Tak hanya masyarakat Nurul Iman Sekali. Masyarakat lain di negara ini pun merasa jika kedua ustaz itu memiliki mukjizat.
Akibatnya sumbangan besar-besaran terhadap musala dan kedua ustaz itu semakin deras. Musala yang dilahap si jago merah itu berhasil dibangun kembali seminggu setelah kejadian nahas itu. Walaupun begitu, masih ada kebingungan antara kedua ustaz itu.
“Kejadian ini aku rasa seperti kisah Nabi Ibrahim?” tanya Hari.
“Beliau itu nabi, sementara kita manusia biasa,” jawab Mail.
Hari segera menimpali, “Barangkali kita ini adalah nabi baru. Bukankah Nabi Musa diangkat menjadi nabi, setelah itu kemudian adiknya Harun dijadikan nabi juga.”
“Astaghfirullah, Pak. Tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad.” Terang Mail.
“Ah, mukjizat itu kan hanya untuk nabi. Kita sudah mendapatkan mukjizat itu. oleh karena itu, kita harus bersyukur!”
Perdebatan kedua ustaz itu pun semakin meruncing, tak ada titik temu atau pun kesepakatan bersama. Keduanya kekeh dengan pendapat masing-masing. Akhirnya, mereka merasa tak se-ia se-kata. Keduanya memilih untuk berpisah dengan teritorial masing-masing.
Hari yang kembali mengajar di musala bonafite tak jauh dari musala Nurul Iman, sekaligus dengan pengakuan kenabiannya. Sementara itu, Mail membangun musala Nurul Iman sendirian. Tak sampai di situ, perpecahan jamaah dan santri pun terjadi.
Beberapa masyarakat yang percaya akan kenabian Hari memboyong anak mereka ke musala bonafite itu. Apalagi ada iming-iming kerajaan surga dengan harga tiga juta per meternya. Tentu hal tersebut berakibat dengan banyaknya yang berinvestasi. Harga tiga juta itu begitu murah untuk sebuah surga.
Sementara itu, jamaah dan santri yang mengaji pada Mail semakin hari semakin sedikit. Ia merasa bahwa ujian yang diberikan Sang Pencipta begitu berat. Jika dulu untuk mengajari ngaji dia berhadapan dengan beberapa preman. Kini, preman itu tak lagi mengganggunya. Hanya saja, fenomena Ustaz Hari yang semakin sakti mandraguna membuatnya tak berdaya.
“Kita harus pergi dari tempat ini, Mas.”
Mail menatap asal suara. Suara merdu perempuan yang telah menjadi penyempurna agamanya itu memang benar. Tapi, sungguh ia akan merasa hina jika menghadap Sang Pencipta dengan kondisi tak berhasil mengubah keadaan seperti sedia kala.
Ah! Migran lelaki itu kumat.
“Bagaimana kita bisa membiarkan masyarakat sesat, dik.”
“Lalu, apa yang bisa kita perbuat. Semakin hari kita yang dianggap sesat. Sejak kejadian kebakaran itu, bahkan sampai Ramadan kedua puluh ini tidak ada lagi yang percaya dengan kita. Jangankan Salat Terawih, salat wajib mereka tinggalkan. Untuk apa, mereka melaksanakan tiang agama. Jika surga hanya berharga tiga juta.”
Mail memeras rasa sabar sedemikian berat. Ia tak menyangka, peristiwa keselamatannya dan Ustaz Hari. Bisa menasbihkan bahwa Ustaz Hari memiliki mukjizat.
Entah setan mana yang merasuki lelaki tua itu. Mail tak bisa memprediksi. Hanya ia berusaha khusnuzon pada Sang Pencipta.
“Apa kita tidak merasa berdosa jika meninggalkan warga?”
“Mas, manusia biasa bukan nabi!”
Pekikan istri Mail menembus gendang telinga lelaki itu. Segera lelaki yang memiliki kumis tipis itu sadar bahwa sebagai manusia biasa ia telah berupaya. Selanjutnya hanya Allah yang bisa memperbaiki keadaan masyarakat seperti sediakala.
Maka keduanya sepakat untuk pergi dari Kelurahan Nurul Iman Sekali yang kini tak beriman sama sekali. Tak ada tujuan dalam benak mereka. Tapi, dibandingkan menetap di kelurahan itu. Tentu pergi merupakan opsi yang tepat. Bukankah tidak mungkin mereka akan teracuni lingkungan, setelah tak berhasil mengubah lingkungan.
“Bismillah, saatnya berhijrah menuju jalan Allah.” Ucap Mail memandang istrinya.
Yang dipandang langsung memberikan senyum terbaiknya.
“Kita pergi ke Tanah Suci, Mas. Bukankah hanya di sana yang bebas dari fitnah akhir zaman.”
Saran dari istri tercinta itu segera Mail sanggupi. Keduanya pun menaiki pesawat menuju Tanah Suci. Sekalipun itu membuat tabungan keduanya habis, hanya tersisa beberapa juta.
Dan sesampainya di Tanah Suci, keduanya segera melaksanakan umrah. Ada banyak kedamaian yang menimpa keduanya. Namun, semua berubah ketika mereka menyaksikan sebuah berita dari Kelurahan Nurul Iman melalui salah satu Channel TV Pemerintah Tanah Suci. Di mana masyarakat di kelurahan itu dihinggapi penyakit aneh yang membuat banyak korban meninggal dunia.
Mail memandang istrinya langsung dengan penuh air di wajahnya.
“Kita harus kembali!”
Perempuan itu tak menanggapi, sekalipun dalam hati perempuan itu menganggap jika masyarakat Nurul Iman membutuhkan ustaz seperti suaminya kini.
Catatan:
- Cerpen ini terinspirasi dari film Mengaku Rasulullah: Sesat yang tayang pada 2008. Film ini berkisah mengenai padepokan sesat di daerah Jawa Barat. Padepokan sesat yang sebelumnya adalah sebuah pesantren itu dipimpin oleh Ki Baihaqi dan Guru Samir. Pesantren itu menjadi padepokan sesat sejak Guru Samir menyatakan dirinya sebagai rasul.
- Iming-iming masuk surga dengan membayar uang diambil dari berita di liputan6.com. Selengkapnya baca pranala berikut ini.