Setiap perempuan pasti bermimpi untuk dijemput Pangeran yang dapat mengubah semua kesedihan menjadi kebahagiaan. Begitupun aku. Hidup dengan tekanan sepanjang usia membentukku menjadi perempuan yang tak lagi memiliki mimpi.
Hidupku diatur oleh ibu sejak kecil. Bapak tidak bisa bersuara sedikitpun jika ibu telah berbicara. Semua yang harus diterima. Tidak ada alasan untuk menolak. Meski batin terus merongrong untuk berkata tidak.
Pangeran yang kuharap pun telah datang. Ia adalah kakak kelasku semasa Sekolah Menengah Atas. Wajahnya tak begitu tampan, tapi bersih dan pengetahuan agamanya lumayan luas.
“Anak sarjana harus dapat sarjana,” vonis Ibu membuat lelakiku itu mundur secara perlahan.
Sejak kejadian itu, Mas Dito, demikian kupanggil lelaki itu hilang bak ditelan bumi. Aku juga tak menemukan jejaknya. Kata beberapa orang, ia telah migrasi ke pulau lain untuk mencari uang lebih banyak agar bisa meminangku. Mendengar alasan itu, aku hanya bisa berdoa yang terbaik untuknya.
Sepanjang penantian Mas Dito, aku memfokuskan diri bekerja di suatu firma hukum. Iklim kerja di sana begitu nyaman. Hanya saja, pekerjaan sebagai sekretaris itu menuntut waktu yang begitu banyak. Apalagi jika kasusnya itu berhubungan dengan warga asing, aku yang lulusan Sastra Inggris itu juga berfungsi sebagai penerjemah. Beratnya pekerjaan ini tak jarang membuatku pulang jelang Magrib.
Ibu yang mengetahui kedatanganku selalu menyambut dengan tatapan melolot. Kata-kata penuh makian langsung muncrat begitu saja. Aku hanya bisa bersabar. Sementara, Bapak hanya menahan tangis setiap aku dimarahi.
Luka atas marah Ibu yang kadang tak jelas itu kupendam begitu lama. Aku berharap untuk segera pergi dari tempat ini. Hanya saja, si Pangeran tak kunjung datang. Hingga akhirnya, datanglah lelaki yang selalu mencuri pandang saat aku pulang kerja.
Lelaki itu tak sendiri. Ia turut serta membawa keluarganya. Keluarganya itu merupakan kalangan Ningrat di kota S. Tanpa menunggu persetujuanku, Ibu langsung mengenalkan jika lelaki itu adalah calon suamiku.
Aku ingin berontak. Lelaki itu bukannya tidak tampan. Tapi, hatiku tak memiliki minat sekalipun. Sejauh rasa ingin berontak keluar, makian Ibu makin tak keruan.
“Kamu mau cari seperti apa? Usiamu sudah kepala tiga!”
Aku hanya bisa menangis atas keputusan Ibu. Pun, ketika menatap Bapak, lelaki itu tak bereaksi sedikit pun.
****
Hari pernikahan pun digelar. Diawali dengan resepsi di kediamanku di kota U, aku langsung diantar ke kota S sehari setelahnya.
Masuk di kamar lelaki yang menjadi suamiku itu, aku berpikir akan disambut dengan ranjang penuh bunga serta harum yang menyala. Namun, yang terjadi di kamar pengantin itu, aku disambut dengan barang rongsok kendaraan yang juga menjadi hobi suamiku. Melihat itu semua, aku meminta sama Bapak untuk dibawa pulang. Bapak yang melihat tatapan Ibu langsung tak berkutik.
Sejak hari itu, hidupku langsung berubah. Beberapa hari setelah menikah, suamiku menjadi jembatan masuk ke perusahaan kakak iparnya di bidang ekspedisi barang. Aku menjadi bendahara di sana. Keuangan yang keluar masuk kucatat dengan penuh rapi. Sayangnya, perusahaan itu terlalu didominasi keluarga suami sehingga keuangannya menjadi tidak sehat. Ketidaksehatan itu muncul ketika istri dari adik suamiku meminta jatah beberapa rupiah atas pelaporan keuangan itu. Aku kontan menolak. Semiskin-miskinnya aku berlaku jujur itu begitu penting agar hidup menjadi mujur.
“Mbak ini sok tanpa dosa. Tinggal ditulis di laporan barang yang masuk ditinggikan harganya kan beres. Sok suci!” umpat adik iparku.
Melihat itu, aku langsung memuncakkan kemarahan. Segera tanganku melayang menuju pipi perempuan itu.
Akibat itu, aku disidang dalam keluarga. Bapak dan Ibu mertua juga ada di sana. Begitu juga empat saudara suamiku beserta istrinya. Suamiku sendiri merupakan anak keempat dari lima bersaudara yang semuanya laki-laki.
“Masalahnya gimana kok sampai heboh di kantor?” tanya Mas Arjuna, kakak ipar pertamaku.
“Aku hanya meminta uang sedikit nggak diperbolehkan sama Mbak Rina,” keluh adik iparku.
Aku tersenyum melihat situasi tak nyaman ini. Segera kupandang wajah suami yang seperti tak punya gairah. Ia rasanya akan pasrah saja jika aku disidang di depan semua anggota keluarganya. Ia tak akan membelaku mati-matian. Ia hanya akan menyelamatkan keluarganya, tanpa memerdulikan perasaan istrinya.
“Dik Rina meminta agar harga barang masuk ditinggikan. Uangnya nanti buat dia. Aku kontan tak setuju.”
Mas Arjuna yang melihat itu langsung mengancungi jempol atas tindakanku. Tetapi, ketiga adiknya, selain suamiku tentunya, langsung memaki-makiku. Katanya aku sok suci. Seharusnya sah-sah saja menggelapkan dana seperti itu.
Aku kaget mendengar penuturan itu. Sementara suamiku hanya berdiam diri.
“Ternyata tindakan saya salah, saya minta maaf.”
Setelah mengucap itu, aku langsung bergegas ke kamar menumpahkan air mata. Aku juga berkemas pakaian ke dalam koper. Suamiku tak juga menguntitku. Ia diam saja. Bahkan saat mataku beradu dengannya.
“Saya minta maaf kepada kalian semuanya. Mumpung masih baru menikah dan tidak punya anak saya ingin pisah dengan Mas Angga,” ucapku tanpa beban sedikit pun.
Mas Angga, suamiku, yang mendengar itu langsung kaget. Wajahnya pucat. Begitu juga mertuaku. Sementara, ketiga saudara Mas Angga tampak senang atas keputusanku.
Aku langsung mencium tangan Bapak dan Ibu mertua. Selepas itu, aku langsung menuju taksi di depan rumah yang telah kupesan. Aku merasa ini sudah sepatutnya diakhiri.
****
Aku tiba di kediaman orang tua hampir pagi buta. Mereka kaget melihatku yang tak memberikan tanda-tanda pulang. Pun, aku tak langsung bercerita mengenai apa yang telah terjadi.
“Kamu pasti ada masalah ya?” tanya Bapak saat mengajakku nge-teh di taman belakang rumah.
Kupandang wajah lelaki itu. Guratan wajah kelelahan itu sudah semestinya tak ingin kuberikan tambahan beban.
“Aku ingin pisah dengan Mas Angga, Pak.”
Bapak terkejut sejenak. Kemudian, ia menyandarkan kepalaku di lengannya. Ia tak sedikit pun menguraikan air mata.
“Kebahagiaanmu itu yang utama. Jika sudah merasa tak nyaman ya lepaskan saja. Tetapi, perlu diingat segala sesuatu yang kotor di rumah tanggamu harus ditutupi. Tak boleh ada yang tahu. Sebagaimana yang Allah lakukan atas kesalahan hambanya.”
Aku mengangguk mengerti atas petuah itu.
Tiba-tiba tanpa diduga suamiku berada di belakang kami. Barangkali tadi ia mencuri dengar. Kalaupun iya, sudah tidak penting lagi bagiku. Toh, kami akan segera selesai.
“Kita masih tetap mempertahankan keutuhan keluarga,” ucapnya di depanku dan Bapak.
Bapak yang mendengar itu langsung pergi membiarkan kami berbicara berdua.
“Apa yang kamu harapkan? Toh, aku melakukan kebenaran malah dipandang salah oleh keluargamu.”
“Aku hanya takut jika berbicara nanti malah memperkeruh suasana. Ketiga kakakku itu memiliki andil atas hidupku. Mereka yang bahu-membahu untuk menguliahkanku juga membuat perusahaan itu bangkit.”
“Kamu terlalu mengandalkan mereka, tapi mengedilkan peran orang tua!”
“Kenyataannya orang tuaku dipandang ningrat karena ketiga kakakku itu.”
“Ya, sudah bela terus sana. Toh, nanti kita akan segera pisah! Kamu lebih takut dipecat keluargamu kan dibanding dipecatku sebagai istri?”
Suamiku langsung bungkam. Wajahnya langsung murka. Ia seperti menyimpan tangan ingin menempelengku. Tapi, tangan itu ditahan Bapak yang tiba-tiba datang. Sayangnya, Bapak tak bisa menahan tangan itu dengan tepat. Lelaki berumur senja itu malah jatuh ke rumput taman.
Aku langsung kaget dengan keadaan. Segera kupanggil Ibu. Suamiku juga langsung keluar meminta tolong suami tetangga. Sayangnya, ketika perjalanan menuju rumah sakit, lelaki yang begitu kucinta itu menemui ajalnya.
****
Sepeninggalan Bapak, aku merutuki kesalahan yang demikian parah. Dan, aku penuh sesal, jika seandainya kami tak bertengkar pasti Bapak akan selamat.
Di tengah suasana duka itu, suamiku malah kembali mengajak ke kotanya. Kontan aku menolak, aku tak mau menerima trauma disalahkan lagi. Aku juga tak mau jadi bulan-bulanan keluarganya.
Ia pun berinisiatif agar aku tetap berada di kota ini. Sementara ia, aku pulang seminggu sekali setiap Sabtu dan Minggu. Berhubung rasa duka masih menyelimuti, aku langsung menyanggupi permintaannya. Toh, kalau aku benar-benar menuntut cerai saat ini pasti omongan kanan-kiri semakin tak enak.
****
Berada di samping Ibu yang sudah menjanda ini membuat tingkat stressku bertambah. Ibu masih memperlakukanku seperti anak kecil. Ia sering membentak ketika aku berkunjung ke rumah tetangga. Ia juga sering memarahiku saat melihatku sakit dan tidak bisa datang ke acara PKK.
Semua kemarahan Ibu ini sering kuadukan pada suami. Aku memintanya untuk mencari rumah di kota ini, lalu mengajak Ibu tinggal di sana. Sementara rumah ini bisa dikontrakan dan uangnya tentu buat Ibu. Kalau misalnya tetap tinggal di sini, Ibu pasti dengan sesuka hati mengaturku. Berbeda jika Ibu ikut aku.
Hanya saja, suamiku malah berkata jika baiknya ibu dibawa ke kota S saja. Mendengar itu, aku langsung bingung. Rumah di kota S itu adalah rumah bersama. Ada adik ipar yang tinggal di sana dan juga orang tua suami. Kalau ada aku dan Ibu akan menjadi tiga keluarga sekaligus.
“Kalau aku tinggal di sana, kuminta kamu membuat dapur baru!”
Suamiku langsung membentak atas permintaan itu. Katanya, dapur juga harus bersama. Aku kontan tak mau. Aku telah memiliki sejarah buruk di sana. Dapur bersama itu akan menimbulkan banyak masalah. Jika misalnya nanti ada bumbu atau gas yang hilang nanti takut jadi perkara. Ataupun kalau memasak hanya untuk keluarga sendiri nanti disangka pelit. Kalau memasak untuk semuanya uang malah jadi habis.
“Ya sudah, aku tetap di sini saja!”
Keputusan itu kuambil berhubung tak ada hal lain yang bisa dilakukan. Bahkan keputusan itu tetap disimpan hingga aku memiliki dua anak.
Keberadaan dua anak itu juga tak membuat Ibu berwelas asih kepada kami. Ia masih memperlakukanku seperti anak kecil. Ia bahkan tak segan memarahiku di depan anak-anak.
Anakku yang berusia SMA akhirnya melawan pada Uti-nya. Ia merasa Mamanya tak pantas diperlakukan seperti itu. Perlawanan itu seperti bom yang ditahan begitu lama. Kemudian, meledak di saat yang tepat.
Ibu yang mengetahui langsung naik pitam. Kata-kata makian yang pernah keluar semasa kecilku langsung muncrat menimpa anak sulungku. Aku langsung meminta maaf pada Ibu dan memegang tangan anak sulungku erat-erat.
Ketika kondisi sudah membaik, kudekap si sulung ke dadaku. Ia merasakan ketukan di jantungku yang seperti membuainya untuk tidur.
“Maafkan aku, Ma. Tidak sanggup lagi dengan perlakuan Uti. Coba Ayah bisa beli rumah kita tidak akan sengsara seperti ini.”
“Ayahmu masih berusaha, Nak.”
“Aku izin telepon Ayah.”
Aku segera memberikan ponsel pada putri sulungku itu. Ia langsung menceritakan rentetan permasalahan yang tidak diketahui ayahnya. Tentang aku yang dibentak oleh Neneknya. Tentang kami yang kalau ada masalah selalu ingin diusir. Dan, tentang omongan Neneknya yang selalu memberikan luka. Si sulung itu juga meminta pada Ayahnya untuk diselamatkan dengan membeli rumah. Tapi, jawaban Ayahnya hanya bersabar atau pindah ke kota S.
“Rumah itu rumah bersama,” tanggapku.
“Tapi, Bapak dan Ibu akan mewariskannya padaku.”
“Begini saja, Yah. Kamu bisa jual rumah itu dan beli rumah di daerah sini.”
Telepon langsung terputus tanpa salam terlebih dahulu. Baru seminggu kemudian, si Ayah pulang ke kediaman kami. Wajah lelahnya tak disambut baik oleh anak-anak. Mereka seperti menyimpan kekecewaan. Terlebih Ayahnya tak memberikan kabar yang tak diinginkan.
“Mas Arjuna ngemani rumah itu. Rumah itu di pinggir jalan raya, bagus dijadikan usaha. Eman kalau dijual,” ucap suamiku.
“Jangan bilang padaku, bilang sama si sulung saja. Dia yang minta rumah ‘kan?”
“Nggak usah marah gitu, Dik.”
“Lalu, sebenarnya rencanamu apa?”
Lelaki itu terdiam. Ia malah menyuruhku hidup seperti air yang mengalir. Ikut saja ke manapun ombak membawa kami hanyut. Tapi, aku tak ingin seperti itu. Anak kami sudah dua. Satunya sudah SMA. Dan, sebentar lagi akan kuliah. Uang terbatas. Aku pun dilarang bekerja demi menjaga kehormatan lelaki ini.
“Nggak usah dipikir, nanti kan ada saudara-saudaraku. Mereka pasti bantu kita.”
“Aku malu, Yah. Anak kita itu urusan kita bukan urusan mereka. Masak selamanya hidup karena belas kasihan orang.”
Suamiku terdiam. Ia lalu pergi ke pembaringan.
Percakapan ini terhenti. Selalu saja akan menjadi seperti ini. Tercekat. Hilang tanpa solusi. Padahal, jika misalnya ia mau menjual bagian rumah di kota S itu tentu bisa membeli rumah di daerah ini bahkan dua rumah sekaligus. Tak hanya itu, bisa juga jadi modal. Toh, meskipun bertahun-tahun bekerja pada saudaranya, ia tetap tak berubah. Seolah-olah lelaki itu hanya kacung di perusahaan itu. Pangkatnya pun hanya karyawan biasa. Sementara ketiga kakaknya tetap menjadi penguasa. Lalu, adiknya malah jadi kepala cabang di kota lain.
Aku bingung dengan keadaan ini. Keempat saudara suamiku telah berdiri tegak. Sementara keadaan keluarga kami malah tetap saja tak ada perubahan. Malah selalu jadi bualan di keluarga besar.
“Kamu mau pisah kan?” tawar suamiku.
Aku tersenyum senang membayangkan bisa menyembuhkan luka yang selama ini mengimpit. Bukankah ia akan tetap lebih membela keluarga saudaranya ketimbang memperbaiki keluarganya sendiri?