Barangkali bagi sebagian besar orang, mereka bisa menulis mimpi besar tentang dirinya sendiri. Tak hanya itu, mereka juga merasa bisa mengendalikan hidup orang lain. Seolah-olah manusia-manusia yang semacam itu adalah tuhan kecil. Tuhan kecil yang meminta manusia-manusia lainnya tunduk kepadanya begitu saja.
Tuhan kecil pula yang dijuluki teman-temanku. Hanya saja, tuhan kecil yang dimaksud mereka adalah penulis. Ya, sekalipun untuk mencapai itu bukan hal mudah. Bahkan untuk menebus mimpi masa kecil itu, aku rela menjadi pengangguran setelah lulus kuliah. Padahal, banyak sekali perusahaan yang menawariku bekerja. Apalagi, sebagai lulusan tercepat di sebuah perguruan tinggi negeri ternama bukan hal sulit bagiku untuk mencari pekerjaan. Tentang ini, aku ingin menceritakan lain kali.
Pada cerita ini, aku ingin berfokus menceritakan keempat temanku. Mereka bernama Sadewo, Balu, Kenangan, dan Jasman. Melalui empat teman itu aku berhasil menerebos mimpi ini.
Kisah ini bermula ketika kami mengontrak di suatu rumah yang tak jauh dari kampus. Aku yang hanya anak beasiswa tak memiliki laptop. Oleh Sadewo diberikan pinjaman laptop asal ketika persegi yang memiliki tuts keyboard itu tak digunakan lelaki berambut kriting itu. Tak hanya Sadewo, Balu pun menjadi tempat kedua jika laptop Sadewo tak bisa kupinjam. Sementara Kenangan yang benar-benar memelihara kenangan itu menyediakanku banyak sekali bahan bacaan, tak hanya buku-buku populer. Koleksi bacaan lelaki berkacamata minus tiga itu banyak sekali, mulai dari zaman angkatan balai pustaka hingga zaman Tere Liye.
Aku melahap semua bacaan itu tanpa terkecuali. Bagiku, membaca adalah saudara kembarnya menulis. Seorang penulis jelas butuh bahan bacaan. Hanya saja, bacaan yang kita baca itu turut mempengaruhi gaya tulisan kita. Begitulah kira-kira.
Berbeda dengan ketiga teman yang sudah kuceritakan itu, Jasman memberikan fasiltas untuk mencetak tulisanku di printernya. Sekaligus ia menjadi pembaca pertamaku, tentu sebelum tulisan-tulisan itu sampai di meja redaktur media massa atau redaksi suatu penerbit. Lelaki yang kuliah di Fakultas Sastra itu benar-benar berdarah dingin.
“Tulisanmu benar-benar payah! Alurnya nggak jelas, ceritanya membosankan. Aku sebagai pembaca tak bisa masuk dalam cerita yang kamu buat.”
Mendengar komentar itu, sungguh bara di hatiku timbul. Hanya saja, komentar panas yang sarat akan kejujuran itu segera kuambil dan merombak habis tulisan-tulisan yang katanya picisan itu. Walaupun, Jasman pintar berkomentar. Ia sama sekali tak bisa menulis. Katanya ia ingin menjadi penikmat dan pemerhati karya atau istilah kerennya kritikus. Jadi, lelaki itu hanya ingin memperdalami teori saja. Ah, mengingat empat teman itu membuatku ingin segera berjumpa dengan mereka.
Aku mengambil napas panjang. Lalu membuang napas itu lewat jendala mobil yang kutumpangi. Aku tersenyum sejenak. Memandangi ibu-ibu yang menawar dagangan. Tampak sekali kericuhan yang positif. Demi barang yang dibeli si ibu itu sesuai dengan keinginan yang tentu berdampak pada semakin iritnya pengeluaran. Mobil yang membawaku kini memang sedang melewati sebuah pasar.
Dari pasar tradisional itu pula, aku kemudian melihat pengemis. Hatiku segera meringis, ingin rasanya menangis. Tapi, batinku menolak. Aku juga pernah ada pada titik mengemis seperti itu. Saat itu, uang beasiswa belum turun. Sementara, kedua orang tua tak bisa mengirimi uang sama sekali. Malah mereka bertanya, “Apa kamu ada uang? Ibu boleh minta kiriman.”
Saat itu, hatiku sakit. Kuurungkan niat untuk meminta uang. “Aku ada uang, Bu. Segera kukirimkan uang ya!” Hanya jawaban itu yang keluar. Padahal, sungguh aku bingung bukan kepalang. Dari mana uang itu kudapat, sementara untuk makan saja susahnya minta ampun.
Di tengah-tengah seperti itu, aku memohon kepada Tuhan. Dan sang Pemberi Rezeki itu menjawab doaku lewat tulisan-tulisan yang dimuat di media. Saat itu, aku pun mulai menulis lebih giat. Akhirnya uangku lebih dari cukup. Sekalipun tidak semua media massa membayar honor tepat waktu.
“Berhenti, Pak.”
Akhirnya, aku menyuruh supir pribadi seusia bapakku itu berhenti. Ia tak bertanya apa pun, lelaki itu langsung meminggirkan mobilnya. Aku segera keluar, mencari jejak pengemis tua itu. Tanpa banyak kata, segera kukeluarkan beberapa puluh rupiah. Dari sana kulihat senyum merekah perempuan seusia nenek jika masih hidup itu.
Aku pun membalas dengan senyum mengembang. Setelah itu, supir kembali melajukan mobil. Kali ini dengan kecepatan yang lebih tinggi. Mengingat di jam mobil, acara motivasi menulis yang mengundangku sudah akan dimulai. Aku tak protes saja supirku melajukan mobil di atas kecepatan maksimum yang diberikan oleh pemerintah.
****
Akhirnya, kami telah sampai di kota Abal-abal. Hanya butuh sekitar satu jam dari kota Impian. Pun, sesampainya di papan reklame yang menyatakan telah sampai di kota Abal-abal itu. Kami segera menuju Gedung Mimpi. Gedung yang berisi tempatku memaparkan serangkaian motivasi sekaligus menyebarkan virus menulis. Dan benar saja, di gedung tersebut. Aku telah ditunggu oleh para pecandu ilmu itu.
“Ada banyak sekali pertanyaan. Untuk apa kita menulis?” Aku segera membuka acara, tentu setelah disilakan oleh pembawa acara yang cantik itu.
Lalu, kuperhatikan para audiens setelah mengucap kata itu. Sebagian dari mereka langsung mengurutkan kening. Kurasa setiap orang memiliki alasan sendiri untuk menulis. Begitu pun peserta yang berjumlah seribu lima ratus orang itu. Ah, mengingat jumlah peserta itu, sejenak membuatku bersyukur. Bahwa Tuhan memberikan nikmat yang tidak bisa dihitung.
“Bagi sebagian orang, menulis bisa menghasilkan uang, jalan-jalan, atau bahkan alasan prestise di hadapan calon mertua.”
Mendengar alasan terakhir itu, semua peserta langsung tertawa. Setelah tawa reda, aku kembali melanjutkan materi.
“Dari berbagai alasan yang di pikiran kalian. Aku menulis sebagai katalis diri. Atau bahasa sederhananya sebagai media penyembuh atau sarana berekspresi. Sejak kecil, saya hidup penuh dengan masalah. Orang tua yang hampir cerai, hidup dengan penuh bully-an. Saat itu, saya cenderung menjadi orang yang pendiam dan rendah diri. Akibatnya saya menjadi orang yang kurang teman.”
Aku berhenti sejenak. Mungkin ini kali pertama aku berbicara secara jujur alasanku menulis. Tak ada sekalipun hijab. Bagi lelaki yang berusia dua puluh tahun sepertiku ini rasanya kejujuran itu mutlak. Bukankah pasar pembaca lebih menyukai penulis yang apa adanya.
“Kemudian, di bangku kuliah. Aku bertemu dengan teman yang sebelumnya belum pernah dikenal. Mereka memiliki nasib yang tragis sepertiku. Kami dipersatukan oleh pencarian kost. Lucu rasanya mengenang itu. Waktu itu, kami telah membayar uang pajer untuk kost. Eh, anehnya ketika hari H. Kost yang kami pesan itu telah dipesan orang. Dan lima orang yang mengganti kami membayar pajer dengan dua kali lipat kepada ibu kost yang mungkin agak mata duitan.”
Mendengar kata mata duitan itu, peserta kembali tertawa lepas. Barangkali peserta yang tiga perempatnya diisi oleh mahasiswa itu memiliki ibu kost yang mata duitan. Sekalipun alasan itu tidak dibenarkan, seorang ibu kost bukanlah seorang yang mata duitan. Mereka sekalipun ada yang memiliki tipe galak, pasti memiliki alasan. Salah satunya barangkali uang kost itu dibutuhkan buat kehidupannya sehari-hari.
Apa pun itu, lebih baik aku melanjutkan kisah. Akibat dari kejadian itu, kami berlima memutuskan menyewa rumah. Mengingat mencari kost bukan hal mudah. Padahal, saat itu kami sama sekali tak mengenal satu sama lain. Akhirnya, rumah kontrakan didapat. Uangku yang saat itu paling sedikit terpaksa meminjam pada satu teman.
Setelah itu, kami saling bahu-membahu. Pertikaian sedikit demi sedikit terjadi antara kami. Tapi, kami mampu melewati itu semua. Buktinya kami bisa bertahan, bahkan bisa lulus dengan pujian.
“Ada yang hampir terlupa. Keempat teman itu turut andil dalam proses kreatifku. Sebagai seorang penerima beasiswa negara yang tak memiliki laptop, printer, dan buku bacaan. Membuatku merasa menjadi seorang benalu dalam kehidupan mereka. Bagaimana tidak dari mereka berempat, aku bisa mendapatkan laptop, printer, dan bahan bacaan. Tak hanya itu, mereka juga memberikan kritik pedas di setiap karyaku. Hingga karyaku pun dikenal oleh kalian. Dari mereka pula, aku tahu bahwa menulis bisa membuat rasa sakit berkurang. Sekaligus menjadi inspirasi bagi banyak orang,” tutupku.
Setelah itu, moderator mengambil alih pembicaraan. Perempuan cantik itu langsung membuka sesi tanya-jawab. Dan langsung saja, dari seribu lima ratus peserta ini banyak sekali yang antusias. Buktinya banyak sekali yang mengacungkan tangan.
Aku tersenyum senang mengetahui respons positif itu. Hanya saja moderator membatasi hanya tiga penanya. Dari tiga penanya itu, mereka hanya berkutat pada teknik menulis atau menyisati waktu agar bisa menulis.
Aku segera melahap pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya bisa mereka temukan sendiri. Soal teknik, secara umum biasanya setiap penulis memiliki ritual sendiri sebelum menulis. Ada yang menulis sinopsisnya terlebih dahulu, ada yang langsung menulis, ada yang butuh suasana hening, dan sederet cara lainnya. dari sana, kita lebih enjoy yang mana. Itulah yang kita pilih. Dan sol waktu menulis. Setiap orang memiliki waktu 24 jam, begitupun aku. Jangan kira seorang full writer sepertiku waktunya hanya buat menulis selama 24 jam. Seorang penulis yang memiliki jam terbang biasanya tak hanya menulis, tapi juga mengisi acara kepenulisan, jagongan sesama teman penulis, dan lain-lain. Dari sana terkadang kita merasa bahwa 24 jam bukanlah waktu yang cukup untuk menulis. Padahal, dari agenda padat yang kita punya. Jangan sampai melupakan dunia menulis. Tulislah apa pun di setiap hari yang kita punya, sekalipun itu cuma dua halaman sehari.
Mendengar itu, aku segera memberi kode kepada moderator agar kembali memutar video yang sudah kusediakan. Dari sana peserta menyaksikan bagaimana prosesku menulis. Aku sengaja merekam kegiatan menulis itu. Dari proses membuat outline, hingga menjadi sebuah cerpen. Tentu, video itu berdurasi tak sampai satu jam. Hanya berkisar lima belas menit, tapi cukup membuat tutorial menulis yang wah bagi peserta.
Dan setelah video selesai diputar, mereka langsung bertepuk tangan. Pada saat itu pula, aku ingin mengunjungi keempat temanku yang memilih tinggal di rumah kontarakan kami. Sekalipun sudah lulus kuliah.
****
Tangisan bumi menderu setelah aku keluar dari tempat bersejarah itu. Padahal, kini bukan bulan Juni. Mengingat bulan Juni, aku ingat akan puisi Sapardji Djoko Damono yang begitu fenomenal. Sekaligus moderator acara motivasi menulis tadi.
Perempuan bernama Juni itu memang cantik. Beruntung, aku telah meminta nomor hapenya. Barangkali dari sana, perkenalan dengan perempuan yang lahir di bulan Juni itu akan membuat hidupku merasakan sesuatu yang lebih indah. Sehingga karyaku lebih kaya akan warna cinta. Duh, membayangkan saja sudah terasa indah. Apalagi, bila hal itu terjadi. Amazing!
“Mas, kita jadi mampir kan?” Supirku memotong lamunan indah itu, sekaligus membuat pertanyaan yang kurasa begitu konyol.
Walaupun begitu, aku langsung menjawab pertanyaan itu dengan menganggukkan kepala, sekaligus memberikan senyum terbaik. Pun, lelaki itu langsung melajukan mobil menuju rumah kenangan semasa kuliah.
Tak butuh waktu lama. Kami sampai sekitar lima belas menit. Hanya saja, berkali-kali aku memencet bel. Teman-teman yang tinggal di Rumah Kenangan itu tak langsung menjawab. Aku segera menduga, barangkali mereka memanfaatkan hari Minggu ini untuk istirahat.
Selama hidup bersama mereka sekitar hampir empat tahun, aku sudah mengetahui agenda Minggu Tidur itu. Dan sungguh mereka menikmatinya, kecuali aku yang menggunakan waktu tidur itu untuk aktivitas menulis.
Akhirnya, aku segera memutuskan untuk tidak membunyikan bel rumah lagi. Sebab percuma saja, mereka tak akan mendengar.
“Kita kembali pulang, Mas?” Supir pribadiku kembali memberikan pertanyaan konyol.
Aku menggeleng keras, lalu merogoh saku. Jelas kalian bisa menebak kalau aku mengambil kunci. Kunci rumah itu masih juga kumiliki. Hal ini karena menurut teman-teman aku pasti membutuhkannya. Dan benar saja, kini aku kembali. Rumah penuh akan kenangan itu langsung terbuka. Dan betapa terkejutnya aku.
“Kalian sedang apa?” aku langsung bertanya sekaligus murka.
Balu segera membereskan buku-buku dan domino yang berserakan di lantai. Sementara, Kenangan segera berkacak pinggang. Dari mereka berdua, Jasman dan Sadewo menatapku tajam.
“Kami sedang berjudi dengan buku,” jelas Jasman tanpa beban.
Dadaku langsung sakit seketika, rasanya ada belati yang menusuk tajam setelah mendengar pernyataan itu. Peningku juga kumat berlipat-lipat. Kuraih pegangan dengan cepat-cepat.
“Apa yang kalian lakukan itu jahat!”
Mereka menyeringai dengan penuh kemenangan. Lalu, satu per satu dari mereka menguraikan pengorbanannya padaku sampai bisa menjadi penulis buku terkenal. Mereka juga bilang kalau aku adalah penjudi buku yang sebenarnya. Sebab hidup adalah arena perjudian. Ada yang kalah dan ada yang menang. Dan sebagai penulis, aku berjudi berharap buku-buku karyaku menempati rak bestseller sehingga bisa dicap penulis bestseller dan mengalahkan penulis picisan yang berjumlah sangat banyak. Sungguh, bukan itulah tujuanku menjadi seorang penulis.
“Buku adalah gudang ilmu dan inspirasi. Seharusnya kalian memperlakukan buku dengan semestinya, bukan dijadikan alat berjudi.”
Akhirnya, aku menumpahkan segala kesal itu. Sungguh, otak mereka ada di mana. Mengapa di rumah kenangan itu harus berjudi buku. Perjudian itu sungguh tidak baik, sekalipun niatnya ingin menambah koleksi buku.
Orang bodoh pun langsung bisa memahami sistematika berjudi buku yang teman-temanku lakukan. Mereka bermain 9-9 pada kartu domino, lalu buku dijadikan alat bertaruh. Caranya buku-buku yang mereka beli, ditulis harganya berapa di belakang. Lalu bertaruhlah satu per satu. Bagi yang bertaruh harga buku lebih rendah, ia harus menambah uang tunai. Sungguh akal sehat mereka ada di mana.
“Kamu tahu uangku habis untuk membeli semua buku. Awalnya aku merasa tak bermasalah. Tapi, sekarang rasa uangku itu habis percuma. Sebab buku-buku itu tak berfaedah. Kecuali untuk kamu.” Kenangan langsung angkat suara.
Sekali lagi pisau menusuk jantung hatiku.
“Dan seharusnya kamu tahu berapa tinta yang keluar percuma hanya untuk tulisanmu yang picisan.”
“Belum lagi, kami berdua harus berbagi waktu. Hanya agar kamu bisa menulis.”
Sekali lagi kebaikan-kebaikan mereka kembali diungkit.
“Aku bisa bayar jasa kalian semua.”
Setelah mengucap kata itu, aku langsung mengeluarkan uang dari tas. Hanya saja mereka tak langsung menerima.
“Sombong!” ucap mereka hampir bersamaan.
Kini aku benar-benar tak mengerti apa maksud mereka berjudi dengan buku. Apa hanya untuk menambah koleksi buku atau untuk menambah uang. Kalau mereka kurang buku, bisa saja datang ke perpustakaan pribadiku atau kurang uang sungguh aku sama sekali tak akan merasa berat memberikannya pada mereka.
“Seharusnya kamu paham, setelah kamu meninggalkan kami demi mengejar prestise dianggap seorang penulis. Kami telah kehilanggan buku hidup kami.” Kenangan mengucapkan dengan lirih. Lelaki itu juga mengembalikan amplop yang kulemparkan.
“Kami memang butuh koleksi buku, tapi kami jauh lebih butuh kamu untuk teman diskusi,” tambah Balu.
“Lewat berjudi buku, kami tak hanya mendapatkan uang tapi juga bertukar ilmu. Dari sana kami seperti bertemu kamu,” tukas Sadewo cepat-cepat, lelaki yang hemat bicara itu juga langsung membenarkan letak kacamatanya.
Jasman segera angkat suara, “Sudah tahu kan alasan kami. Masih mau menyalahkan kami?”
Aku sebenarnya tak mengerti dengan ucapan mereka, tapi sungguh ada ritmis yang benar-benar singgah di hatiku. Lalu, suara klakson mobil menggema di belakangku. Sekaligus suara ponsel yang bergetar. Ditambah sebuah tepukan di pundak.
“Mas, pengemisnya nggak mau dikasik uang?” ucap seorang bapak.
Aku segera memandang sekeliling. Tempatku kini masih sama seperti empat tahun yang lalu. Rumah kenangan yang juga menjadi rumah harapan. Yang mungkin aku tak tahu sampai kapan harus membangun mimpi di sini.
Mendengar ucapan seorang bapak berkumis itu, keempat temanku segera memberikan uang pada pengemis perempuan itu.
“Pasti sedang berkhayal lagi.”
Aku tersenyum. Lalu kembali masuk ke rumah kenangan itu.
Jember, 14 Oktober 05:39
6 Comments. Leave new
Mantap….ceritanya enak seperti pelaku dalam alur cerita…
Alhamdulillah. Terima kasih, Kak. Kalau mau dikritik boleh banget lho.
Mantaaap…alurnya renyah dan bahasanya mengena
Makasih, Kak.
cerita simpel tapi mengikat membuat pembaca ngin menyimak lagi dan lagi 👍
Makasih, Kak.