Maryani gelisah. Sedari tadi ia sudah lima kali bolak-balik di ruang tamu sederhana miliknya. Perempuan yang masih memiliki sisa kecantikan di usia lima puluh tahun itu tak kuasa menahan sesak. Apalagi, anak semata wayangnya sedang dalam keadaan sakit parah.
Ia merogoh kantongnya. Hanya ada uang lima ratus dua puluh ribu. Itu pun, lima ratus ribunya miliknya sendiri. Sementara yang dua puluh ribu hasil ia melakukan ritual uang balik yang gagal total.
Teman-teman seperguruannya begitu senang ketika mendapat hasil setelah merapal mantra uang balik, sehingga ketika uang mereka dibelanjakan. Seketika penjual menaruh uang tersebut, uang yang dibelanjakan akan kembali, lengkap dengan uang yang sudah dicampur oleh si pelaku.
Sementara Maryani hanya mendapat mangsa anak SMA yang tak punya uang banyak! Payah! Benar-benar payah!
Maryani berhenti sejenak. Mulutnya meracau tak jelas. Tatapannya berganti kepada dinding rumah yang memiliki tulisan Arab. Di sana walaupun Maryani tak pintar baca Alquran, Maryani tahu bahwa tulisan kaligrafi itu bertulis tentang Ayat Kursi.
Sejenak Maryani menyebut nama Tuhan yang telah lama ditinggalkannya.
Tuhan!
Maryani tersenyum kemudian, ia meninggalkan anaknya sejenak, langsung mengambil kerudung putih yang biasa digunakan ketika ada pengajian di lingkungan RT. Maryani melangkah dengan tegas menuju jalan raya dekat rumahnya. Tak sampai lima belas menit, perempuan yang telah lama ditinggal mati suaminya itu segera menemukan angkutan umum menuju kota.
“Alun-alun, Pak,” tutur Maryani.
Supir segera melajukan colt yang tak lebih dari lima belas penumpang itu. Maryani segera mempersiapkan uang.
“Pakai uang balik atau tidak ya?” pikir perempuan itu kemudian.
“Ah, jangan kasihan Pak Supir. Dia pasti butuh dan dimarahi si empunya colt,” bisik hati bagian lain perempuan itu.
Dialog-dialog itu tentu hanya Maryani yang tahu. Tak ada yang lain. Kecuali Tuhan–Sang Pemilik Kehidupan– di tengah-tengah kebingungan itu, Maryani kemudian mencuri dengar cerita penumpang di belakangnya.
“Duh, Bu. Kemarin di Pasar Panarukan ada kejadian aneh.” Ibu berambut ombak dengan gincu tebal mulai bercerita.
“Loh, ada apa emangnya, Bu?” tanya perempuan di sebelahnya.
“Denger-denger banyak pedagang yang kehilangan uang dan penyebabnya nggak jelas.”
“Mungkin ada tuyul ya di Pasar Panarukan?”
“Ih, kalau tuyul kan bisa masuk CCTV.”
“Iya, kalau CCTV-nya canggih. Kalau tidak?”
Maryani tersenyum mendengar dialog-dialog itu. Dalam hati ia ingin bercerita bahwa sebab kehilangan uang itu ulah tuyul, tetapi uang balik.
Setelah itu, pembicaraan tak lagi mengarah tentang kehilangan uang para pedagang. Lebih, ke arah gosip daerah. Yang katanya pejabat A ketahuan korupsi, pejabat B punya istri lagi, pejabat C anaknya kena kasus narkoba. Ada-ada saja obrolan penumpang dalam bus mini itu. Hingga obrolan itu berhenti ketika salah satu dari ibu yang tak baik dikatakan menggosip itu turun di daerah jalan Sucipto.
Maryani menghembus napas panjang. Rasanya tak kuat kedua kupingnya mendengar gosip. Angkot kembali berjalan. Ia segera mengeluarkan uangnya dan bersiap-siap turun di lampu merah yang sebentar lagi.
“Stop, Pak,” ucap Maryani.
Sopir pun langsung berhenti. Maryani mengeluarkan uangnya. Langkahnya pun jelas menuju masjid yang berada di sebelah barat Alun-alun Kota. Orang-orang di wilayah kota tak banyak yang mengenalnya. Ya, jelaslah Maryani bukan siapa-siapa. Ia hanya perempuan baru di wilayah kecamatan yang dahulunya dijadikan nama kabupaten. Hanya itu. Tak lebih. Dari langkah-langkah tegas itu, Maryani menatap masa depan gemilang.
Perempuan itu segera masuk masjid. Lalu mencari kotak amal yang paling besar. Penghuni rumah Tuhan itu banyak sekali. Kemungkinan besar karena hari ini adalah hari Jumat. Dan, tentu dengan hari tersebut juga amal masjid pasti banyak. Setelah menemukan kotak amal yang besar. Maryani segera keluar dari masjid yang dibangun dengan dana APBD itu.
Perempuan itu menyunggingkan senyum. Ia kemudian melangkah lagi untuk menyetop bus kembali ke rumahnya. Di hatinya, baranya sudah tersiram tuntas. Colt berjalan dengan cepat seolah-olah mendefinisikan kegembiraan Maryani. Tak sampai lima belas menit colt telah memasuki wilayah Jembatan Sibon.
“Pak, Masjid Nurul Abror,” ucap seorang penumpang yang dari seragamnya mungkin masih SMA, seusia anaknya.
“Oke, Nina.”
Supir melanjutkan perjalanan hingga sampai di gang masjid yang disebut gadis itu. Sesaat gadis yang cantik dengan balutan kerudung berwarna cokelat itu keluar dari colt, tapi supir menolak uang gadis itu.
“Kita tetangga. Simpan uangmu untuk keperluan sehari-hari.”
Maryani kagum dengan supir itu. Hal ini berbeda dengan tetangganya yang bekerja sebagai lintah darat dan menjadikan tetangga sebagai mangsa utama. Maryani terdiam sejenak. Ia lalu memikirkan dirinya yang mungkin lebih jijik dari lintah darat.
“Pak, saya berhenti di sini juga!” putus Maryani.
Ia lalu memberi uang lima ribu dan membiarkan uang kembaliannya dua ribu untuk supirnya. Perempuan setengah bayah itu menganggap dua ribu itu dapat dijadikan sebagai amal.
Di depan masjid itu, Maryani tersenyum. Ia kembali melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan di masjid dekat alun-alun. Pun, setelah menemukan kotak berukuran paling besar ia segera tersenyum dan meletakkan uangnya. Senyum puas, bahkan benar-benar puas tergores di wajah perempuan yang memiliki satu anak itu. Setelah itu, ia memilih untuk kembali ke rumah dengan menaiki becak.
***
Kembali Maryani menyaksikan anaknya yang terbaring lemah. Perempuan itu tak sampai hati, ia menangis sesungguhkan. Sambil lalu menyabarkan sang buah hati.
“Ibu ke mana saja? Ibu tidak usah ke mana-mana. Aku butuh Ibu,” ucap anak lelakinya yang tak lagi kecil itu.
Hati Maryani menangis bahkan sampai ke wajahnya yang manis. Anaknya selama ini belum tahu pekerajaannya.
“Maafkan Ibu ya, Nak. Tadi cari uang dulu. Kita periksa ya di puskesmas terdekat saja.”
Maryani segera bersiap-siap. Ia pun masuk kamar dan melihat kotak uang balik miliknya yang kini terisi banyak sekali uang.
Satu juta. Dua juta. Tiga juta. Empat juta. Enam juta lima ratus tiga puluh rupiah.
Maryani begitu senang ketika menemukan jumlah itu. Ia langsung mengambil uang tersebut dan bergegas membopong anaknya keluar rumah. Dipanggilnya abang becak tak jauh di dekat rumahnya.
“Ke mana, Bu?”
“Puskesmas, Pak.”
Puskesmas terbaik di kota ini segera menyambut perempuan itu. Maryani segera menjelaskan gejala sakit yang diderita anaknya.
“Mungkin tifus, Bu. Cek lab aja ya, Bu.”
Maryani mengangguk. Se-jam menunggu. Hasil lab keluar juga. Anaknya memang benar terkena tifus.
“Rawat inap di sini ya, Bu. Silakan urus administrasinya.”
Maryani segera menyanggupi. Sebagai perempuan yang begitu mencintai anaknya, ia akan melakukan apa saja demi sang buah hati. Apalagi cuma membayari perawatan anak yang memang sudah menjadi kewajibannya. Pun, dalam beberapa jam anaknya sudah mulai menunjukan rasa baik. Maryani senang, sebab tidak telat memeriksakan anaknya itu.
“Bu, besok aku ingin pulang,” rengek anaknya.
“Tidak, kamu istirahat dulu di sini. Baru kalau sudah sehat benar. Kita kembali ke rumah, Nak.”
Anak itu tersenyum mengetahui kekhawatiran ibunya. Benar saja selama empat hari anak itu sudah dinyatakan sehat Maryani segera membawanya kembali ke rumah.
Anehnya, sesampainya di rumah. Putra Maryani kembali sakit. Awalnya, Maryani mengira ini adalah bagian obat yang tak cocok. Namun, setelah diperiksa oleh dokter terdekat. Kondisi tubuh anaknya baik-baik saja. Maryani pun memanggil ustaz tak jauh dari rumahnya.
Sementara itu, sepasang remaja bernama Rizki dan Nina menuju rumah perempuan itu. Tepat ketika Maryani dan ustaz tiba di rumah. Rizki dan Nina sudah menunggu mereka di depan pintu. Maryani terkejut bukan kepalang. Ia melihat sosok lelaki yang pernah menjadi korban uang balik yang meskipun hanya dapat dua puluh ribu itu.
“Ibu.” Remaja lelaki itu memanggilnya dengan sebutan teduh itu.
Maryani kikuk seketika. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Ia benar-benar khawatir remaja itu memberi tahu dapat memprediksi apa yang dikerjakannya. Apalagi, sorot mata mantan korban uang baliknya itu seperti menyiratkan sesuatu.
“Cari siapa, Dik?” tanya Maryani sesuai dapat menguasai diri.
“Kami mau menjenguk Raka. Ini benar kan rumahnya?”
Maryani mengangguk. Mendadak dunia Maryani seperti sebentar lagi akan runtuh ketika remaja itu menyebut nama anaknya. Ia sungguh tak ingin anak yang bernama Rizki itu bercerita ke anaknya bahwa uang selama ini dikumpulkan bukan uang halal.
Maryani tak ingin Raka kecewa dan berujung pada rasa sakit yang berlipat. Ia pun menatap teman anaknya. Seolah ada kontak kesepakatan untuk bekerja sama.
“Nina, kamu duluan masuk,” tanggap remaja tanggung di depannya.
Kini, Maryani berdua dengan remaja itu. Ia siap berdialog bahkan memohon kepada sosok di depannya untuk tidak bicara lebih lanjut.
“Saya tahu Ibu adalah salah satu pelaku uang balik. Namun, tenang, saya tak akan menceritakan ini kepada Raka. Saya tak ingin teman baik saya terganggu pikirannya,” tutup remaja itu, lalu masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, Maryani terdiam. Ia bingung harus melakukan apa. Ia malu. Pekerjaannya diketahui oleh teman anaknya. Ia lebih malu menjadi ibu bagi Raka.