Dokter perempuan itu tersenyum begitu manis. Tak terlihat kerutan sedikit di wajah perempuan itu. Ia segera mengambil ketiakku dan menyentuhkan sebuah alat untuk mengukur suhu badan.
“Kamu baik-baik saja?” tanya perempuan yang seusia ibu itu.
Aku mengangguk lemas. Rasanya aku mengalami perjalanan yang sedemikian jauh dan perempuan itulah yang menuntunku. Termasuk hingga sampai di salah satu kota pelajar ini.
“Kami menemukanmu di gorong-gorong dengan keadaan yang sedemikian lemas. Hingga hampir tujuh hari kamu tak sadarkan diri.”
Sungguh penjelasan perempuan yang memiliki rambut panjang itu tak sesuai dengan klasifikasi medis yang ia miliki. Bagaimana mungkin aku koma tanpa alasan jelas. Atau ini semua menyangkut gairah masa lalu yang masih menuntut balas dendam.
Ah! Aku seharusnya berpikir keras. Mencari tahu alasan kejadian aneh yang datang kepadaku secara bertubi-tubi. Tapi, semakin lama berpikir, semakin sakit dan lelah juga pikiranku.
“Bapak dan Ibu mohon tinggalkan kami berdua,” tukas dokter yang bernama Eliana itu.
Segera kedua orangtuaku, diikuti Rinata, seorang bocah, dan suami Rinata. Ah, mengeja nama lelaki itu rasanya menimbulkan sensasi luar biasa. Di satu sisi, aku senang mengetahui ada yang menerima kondisi Rinata. Di sisi lain, tak dapat dipungkiri ada rasa cemburu yang bersarang di dalam hati.
“Apa yang kamu alami selama tujuh hari ini?”
Pertanyaan itu membuatku berpikir keras, kupijat kening dan kepala. Hingga akhirnya aku mulai berani bercerita.
“Saya bertemu dengan Ibu.”
Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
Perempuan itu tersenyum, sekaligus membuatku bingung mengartikannya.
“Lanjutkan!” tukasnya cepat.
Aku memejamkan mata. Dan setelah itu, aku serasa kembali ke dalam gorong-gorong. Sebuah gorong-gorong yang diterjang banjir deras. Di sana aku melawan arus, berusaha menyeimbangkan diri. Tapi, semakin lama. Arus itu membuat pertahananku roboh. Aku terombang-ambing begitu jauh.
Hingga tiba di sebuah masjid. Menyaksikan Rinata menikah dengan lelaki yang selama ini tak begitu aku kenal. Selain melihat Rinata dan lelaki itu, dokter perempuan itu juga ada di sana. Tapi, perawakannya berubah sedemikian anggun. Ia mengenakan pakaian serba putih, mulai dari kerudung putih lumayan panjang, baju putih, dan rok yang menyentuh mata kakinya. Perempuan itu tersenyum, lalu memberikan tanda agar aku menghampirinya.
“Rinata akan bahagia dengan lelaki itu. Bagaimana denganmu?”
Aku hanya menjawab dengan senyum yang mengembang. Seolah-olah ikhlas akan jalan hidup selanjutnya. Kalau berdasarkan lagu yang sedang hits. Asal kau bahagia, aku tak masalah.
“Saya akan mencari letak kebahagiaan sendiri, Bu.”
Perempuan itu memberikan jempol tanda setuju. Setelah itu, mataku kembali membuka dan kesadaran mulai pulih. Kini perempuan itu berseragam dokter dan aku terbaring lemah di kamar pesakitan.
“Ada lagi yang ingin kamu ingat?” tanya perempuan itu lagi.
Aku mengangguk mantap. Kemudian mencoba memejamkan mata. Semua bernama masa lalu. Dan masih tentang Rinata. Semasa sekolah, ia selalu tampil bossy. Ia juga mentraktir teman-teman sewaktu pesta minum minuman keras. Aku tak tahu pasti dari mana ia mendapat uang. Tapi, mengingat kejadian kehilangan ayah Rinata yang mendekam di hotel predo. Aku semakin yakin, jika ada hubungan antara kejadian tersebut. Apalagi tempat kami sering mabuk-mabukan selalu di tempat yang istimewa.
Kesalahan yang sedemikian berat itu membuatku tersadar jika menjadi salah satu indikator ketidakbahagiaan Rinata.
Ah!
Peningku kumat. Setelah itu, muncul lagi perempuan itu.
“Kamu mencari pacarmu yang sedang hamil ya?”
Aku kembali mengangguk dan menceritakan bahwa perempuan itu hamil lantaran digauli beberapa pemuda tak dikenal, tepat ketika ayah perempuan itu tertangkap karena korupsi.
Lalu, peristiwa pelik di gorong-gorong itu kembali merasuki pikiranku. Perempuan itu juga ada di gorong-gorong. Ia memapah tubuh yang lemah ini, lalu mencari sebuah pelampung yang entah diperoleh dari mana. Kemungkinan karena pelampung itu aku bisa hidup, sekalipun harus dirawat di tempat ini.
“Mengapa ibu melakukan ini semua?”
Ia tak langsung menjawab, tapi ada senyum yang begitu menusuk.
“Kamu tidak salah. Saya hanya perantara mengujimu.”
Aku tak langsung paham.
“Kamu merasa telah tersesat di surga, tapi pernyataan itu salah besar!”
Aku kembali berusaha mengingat. Jika memang waktu itu aku merasa menemukan surga duniaku. Tapi, aku terlupa akan Rinata yang bertemu dengan nerakanya. Tunggu… tunggu… aku tak sepenuhnya salah. Bukankah aku telah melakukan berbagai usaha menemukan Rinata. Hingga sampai aku sendiri menjadi korban tak sadarkan diri selama seminggu ini. Sungguh, ada banyak kunang-kunang bertebrangan di kepala.
“Jelaskan dengan rinci, apa maksud ibu?”
Perempuan itu tersenyum. Kemudian menerbos tubuhku. Sungguh, aku tak percaya akan apa yang aku lihat. Apalagi, setelah itu semua menjadi lebih gelap.
*
Cahaya menyentuh mataku, seketika aku terbangun. Di sana ada perempuan itu, ia seperti mengajakku berbicara. Ia duduk di sebuah taman. Dari struktur dan tatanan bunga-bunganya. Aku merasa begitu familiar dengan taman yang tampaknya dibangun oleh ayahku sendiri.
Perempuan itu tersenyum. Aku langsung duduk di sebelahnya, “Kamu harus merasa beruntung!”
Keningku berlipat-lipat, kembali aku merasa bingung. Ia kemudian menceritakan kisahnya. Ia merasa memiliki banyak dosa. Ia sudah meminta maaf, tapi semua orang yang ia minta maaf sudah memaafkannya. Mengetahui hal tersebut, bukannya senang perempuan itu justru bertambah sedih. Ia pun berusaha mendatangi tempatnya berhutang, tapi yang terjadi utang-utangnya dianggap lunas.
Lalu, di tengah kebingungan itu. Ia pergi ke rumah anaknya, tapi ternyata anaknya yang berlimpangan harta malah berubah sikap. Tak lagi ada sikap sederhana. Dunia menjadi tujuan utama. Uang selalu menjadi keinginan. Katanya semata-mata demi menyanggupi kebutuhan si anak. Aku mencoba memahami sekalipun bingung dengan kondisi ini.
“Tapi, ada hal lain yang membuat ibu nyilu, Nak.”
Aku menunggu jawaban
“Kamu kenal dengan Rinata?”
Tentu aku langsung mengangguk. Sungguh itu pertanyaan terbodoh yang diberikan orang. Bagaimana bisa aku tidak mengenal perempuan yang pernah mengisi hatiku. Dan kenapa pula pertanyaan itu keluar dari perempuan yang membuatku mengalami kejadian aneh.
“Aku tak menyangka perempuan itu kehilangan surganya dari orang yang tak semestinya.”
Kembali pembicaraan Rinata dan surganya yang hilang itu menjadi headline dalam pikiranku.
“Aku merasa gagal menjaganya.”
Sontak aku semakin tak mengerti. Memangnya siapa dia sehingga merasa perlu menjaga Rinata.
“Dia itu cucuku,” tukasnya cepat, secepat bulir angin yang menyentuh wajahku.
Ia melanjutkan cerita yang penuh penyesalan bahwa seandainya perempuan itu tak mendongengi anaknya yang menjadi ayah Rinata dengan keutamaan mencari harta. Tentu gadis itu tidak akan kehilangan perhatian. Hingga harus melarikan diri dengan melakukan tindakan minum minuman keras.
“Kamu harus merasa beruntung.”
Kata itu kembali terlontar.
“Perhatian yang kamu peroleh lebih dari segalanya. Dan kurasa itu telah menjadi surga di dunia.”
Aku tersenyum. Apa yang kuperoleh itu sudah lebih cukup.
“Awalnya ibu menemui berharap bisa menjaga Rinata. Tapi, nyatanya ia sudah ada yang menjaga. Dan itu lebih dari cukup.”
Aku mengangguk mantap. Duniaku menjadi kembali berubah.
“Mana dokter itu?”
Ibu langsung bertanya, perempuan yang melahirkanku itu tampak ngos-ngosan dalam berbicara. Aku kembali berusaha mengingat. Entah apa yang ada dalam pikiranku sehingga bisa menjawab pertanyaan ibu.
Jember, 01 Agustus 2017.
2 Comments. Leave new
Suka, nggak ketebak, tapi itu justru menambah cita rasanya.
Ikuti kisah selanjutnya ya, Kak. Insya Allah ini akan menjadi novela. 🙂