Aku kembali ke rumah itu, setelah tiga windu. Rumah itu juga mengingatkan kenangan akan Ibu. Perempuan yang tak hanya mengasihi sejak melahirkanku, tetapi melindungiku hingga akhir hayatnya.
Maka aku berjalan mengelilingi rumah itu. Di setiap sudutnya ada kenangan, tangisan, dan amarah yang menjadi satu. Aku masih ingat betul tentang kursi goyang yang berada di sudut belakang rumah. Dulu, kakakku satu-satunya yang bernama Kusairi merebut kursi goyang itu sekaligus memaksaku turun dari barang favorit itu. Ibu yang mengetahui itu tidak ikut diam. Beliau langsung memarahi lelaki yang lima tahun lebih tua dariku itu.
Sayangnya Kak Kusairi selalu saja ada memiliki banyak macam untuk mengerjaiku. Seperti sewaktu aku pulang sekolah, ia menghadangku bersama teman-temannya lalu menorehkan banyak tomat di seragam hari Senin sampai Kamis. Aku tak berani melawan, kecuali tangisan yang mengisak.
Tega-teganya lelaki itu!
Seharusnya sosok kakak melindungi adiknya, tapi tidak dengan Kak Kusairi. Lama-lama aku tahu jika ternyata ia cemburu. Apalagi, lantaran keberadaanku ia seperti diam-diam disingkirkan oleh Ibu.
Aku pun berusaha berbicara dengan lelaki itu, tetapi ia selalu menolak dengan beragam cara sekaligus mengepalkan kepala di jidat, pipi, dan perutku. Namun, aku menahan sakit. Juga puasa tak mengaduh pada ibu.
Dari satu benda itu pula, aku teringat akan nasib Kak Kusairi yang pergi dari rumah setelah ibu meninggal. Dan sampai saat ini, aku tak pernah menemukan batang hidungnya.
Berjalan menyusuri rumah bagian tengah, aku menemukan dakon. Benda itu membuatku menangis ritmis.
Aku masih ingat waktu itu ada seorang perempuan cantik berambut keriting gantung. Katanya ia bernama Dewi. Nama anak itu sesuai sekali dengan perawakan wajahnya yang bak dewi di kahyangan. Dewi pula yang menjadi teman pertamaku, mengingat teman-teman lelaki selalu berteman dengan Kak Kusairi, bahkan anak-anak seusiaku juga dilarang keras bermain bersamaku oleh lelaki itu. Kehadiran Dewi bak oase di tengah gurun. Saat bersamanya, aku selalu tertawa ria.
Benda kenangan itu, segera kupegang. Tak ada yang berubah dari benda itu, ukurannya masih 14 x 7 cm itu, ada16 buah lobang yang terdiri atas 14 lobang kecil yang saling berhadapan dan 2 lobang besar di kedua sisinya. Tak puas dengan hanya memegang, aku pun menciumi dakon itu sekaligus membuat bayangan akan Dewi langsung memutar di pikiranku.
“Orang gila.”
“Orang gila.”
Teriak Kak Kusairi disertai teman-temannya.
“Aku tidak gila,” kilahku.
“Kamu gila, main dakon kok sendirian!” vonis Kak Kusairi.
“Aku bersama Dewi kok, Kak.”
Penjelasanku ternyata diikuti oleh Dewi yang menghilang secara mendadak. Akibat itu aku langsung teriak memanggil namanya. Melihat itu Kak Kusairi langsung menendang dakon sekaligus menendangku. Aku meringis kesakitan. Bara di hatiku muncrat begitu kuat. Sungguh, rasanya aku tak boleh tinggal diam setelah ini.
“Kamu yang sabar ya!” ucap Dewi setelah melihat Kak Kusairi and the gank meninggalkanku.
Aku hapus air mata yang mengalir di pipi. Setelah itu, kami kembali melanjutkan permainan dakon. Pada awal permainan setiap lobang kecil diisi dengan tujuh buah biji asam. Aku dan Dewi berhadapan dan memilih lobang yang akan diambil dan meletakkan satu ke lobang di sebelah kanannya dan seterusnya berlawanan arah jarum jam.
Apabila biji habis di lobang kecil, maka aku mengambil biji di lobang kecil lainnya. Aku baru berhenti bermain setelah sampai pada lobang kosong. Permainan baru dianggap selesai, setelah seluruh biji tidak ada lagi yang dapat diambil.
Kalau Dewi kalah, aku menyentuh hidungnya dengan lembut, tetapi jika aku kalah ia menyemburkan air ke badanku. Siapa pun yang menang, hukuman yang didapatkan berupa senyuman. Mengenang itu membuatku mencari Dewi.
“Dewi!” teriakku.
Panggilan itu tidak ada jawaban. Hanya angin yang berembus, sekaligus membuatku merasakan sesak. Aku tersungkur. Aku jatuh. Keningku berlarian kunang-kunang. Setelah itu, hitam pekat menyelimuti pikiranku.
***
Aku seperti kembali bertemu dengan Dewi. Hanya saja, pakaianku berubah menjadi seragam anak SMA. Perubahan fisikku ini tidak diikuti perubahan fisik anak itu. Ia tetap seperti pertama kami berjumpa. Katanya sebagai setan, usia setan dan manusia itu selisih 40 tahun. Artinya satu tahun usia setan sama saja dengan 40 tahun usia manusia.
Perempuan itu juga bercerita bahwa dalam dunia setan, setan tak selamanya kejam. Terkadang setan zaman now itu malah takut sama manusia. Bukan karena rapalan doa mengingat Yang Kuasa, tetapi manusia kekinian ini selalu melibatkan setan di berbagai hal..
Teman-teman Dewi yang bermarga tuyul sebagai salah satunya dijadikan sarana memperbanyak uang. Lalu, teman-teman ibunya Dewi suka bergosip bermarga kuntilanak sering dijadikan media menakuti anak kecil oleh orang yang tak suka terhadap suatu keluarga. Contoh yang paling parah, teman bapaknya Dewi dijadikan penglaris di suatu rumah makan. Mendengar kisah itu membuatku mual, apalagi contoh terakhir jelas-jelas yang ditunjuk oleh perempuan itu adalah restoran favoritku.
“Kamu sering makan di sana ya bersama pacarmu!”
Aku mengangguk, lalu tersenyum senang.
Dewi memencet hidungku, aku membalas hal serupa. Usai membahas perihal dunia persetanan, aku meminta izin untuk tidur. Dewi langsung pergi dengan menembus jendela. Hanya saja, sepaginya aku bangun. Aku telah kehilangan duniaku seluruhnya. Ibu ditemukan bersimbah darah, urat nadi perempuan itu putus. Saat itu, aku teriak tak keruan. Kak Kusairi yang tak banyak berbicara sejak berhenti menganggu ketika masuk SMP juga ikut berteriak histeris.
Tangisan kami yang sedemikian piluh itu membuat tetangga di sekitar mendatangi kami. Mereka yang mengetahui kejadian nahas itu hanya menambahkan tangisan, hanya satu ibu yang melinggarkan pelukan kepada kami.
****
Cahaya menerobos rumah lama ini. Aku terbangun dari hitam pekat yang tadi menyelimuti pikiranku.
Aku pun mencoba mengingat-ngingat kejadian sebelumnya. Ya, rasanya bertemu dengan Dewi seperti nyata ataukah tadi hanya wisata masa lalu?
“Mas,” sapa seorang lelaki setengah baya.
Aku tersenyum agak kaget. Lelaki bernama Untung itu lalu meminta izin membersihkan rumah. Katanya, ia ditugasi ibu mertuaku, ibu yang pernah melingkarkan pelukan saat kematian ibu kandungku.
Aku segera mencium tangannya dengan takzim. Wajahnya yang berkerut itu masih menunjukkan sisa kegagahan semasa muda.
“Mas kenal dengan Dewi?” tanya Pak Untung.
Aku terkejut dengan pertanyaan itu. Belum sempat aku menjawab. Tiba-tiba dari beranda rumah terdengar suara mobil. Setelah itu, suara khas yang mewarnai rumah langsung menyambut. Di sana ada istri dan anakku.
“Kalian ke sini?”
“Kami tidak mau menemani Ayah sendiri bertugas di sini,” ucap anakku dengan sedikit pelo.
Aku tersenyum mendengar penuturan itu. Artinya tugas dinas ini tak membuatku harus sampai menabung rindu pada mereka. Kehadiran mereka membuatku tak sempat melanjutkan perbincangan tentang Dewi bersama Pak Untung.
“Kita pindah ke rumah Nenek ya!” tawarku pada anak dan istri.
Rumah mertuaku tak jauh dari sini. Menurutku rumah itu jauh lebih aman ketimbang tinggal di tempat yang membuat segala kenangan kesakitan itu merengsek maju. Anehnya, anakku yang berusia delapan tahun itu menggeleng lemah.
“Jangan, Yah, aku baru saja dapat teman. Namanya Dewi,” ungkapnya membuat daya kejut baru.
“Apa kabar?” tanya sosok yang disebut anakku, ia lalu menyentuh hidungku.
Aku tersenyum. Tak hanya itu ia langsung duduk di pangkuanku. Aku seperti Ayah baru bagi perempuan itu, melihat itu anak dan istriku pamit ke rumah mertuaku.
Dewi memulai cerita jika selama aku tak berada di rumah ini, ia menjaga bersama Pak Untung. Katanya, ada beberapa orang yang menggunakan rumah ini sebagai tempat bermaksiat, bahkan ada juga yang menggunakannya sebagai tempat menyimpan hasil jarahan. Mengetahui itu Dewi bersama teman-temannya menganggu mereka hingga akhirnya orang-orang itu tidak kerasan. Sungguh demi mendengar cerita itu aku tertawa penuh kemenangan.
Obrolan seru itu terjeda sejenak, tepatnya ketika istriku menelepon. Ia hanya mengatakan tidak mempermasalahkan obrolanku dan Dewi. Hanya saja, aku harus tahu batas. Jangan sampai terlalu malam juga.
“Apakah kamu cemburu?”
Balasku disertai emotikon tersenyum.
Tidak ada jawaban dari istriku. Barangkali ia benar-benar cemburu.
“Ada apa?” tanya Dewi.
Aku menggeleng lemah. “Tidak ada apa-apa.”
“Kamu tidak mau tahu tentang Kak Kusairi?”
Ketika nama itu disebut. Buluk kudukku langsung meremang.
“Ia juga ada di dalam rumah ini.”
Keterangan dari Dewi itu membuat sosok itu langsung muncul di depan mata.
“Ada hal yang membuatku tak bisa kembali ke tempat seperti Ibu kembali. Aku lupa meminta maaf padamu,” ucapnya dengan jelas dan padat, setelah itu pergi seperti embusan angin.
“Tugasku sudah selesai,” ungkap Dewi membuat keningku berlipat.
Sosok itu lalu hilang diganti embusan angin. Suara mobil kembali terdengar di luar rumah. Aku langsung memasang kaki menghampiri suara itu. Di sana istri dan anakku datang.
“Kita menginap di sini atau di rumah Ibu?” tanya perempuan baik hati itu.
Aku langsung menarik tangannya menuju rumah ibu mertua.