Sumber: fotografer(dot)net |
“Radio lokal, jaringan global”
Bagi sebagian besar masyarakat Situbondo. Jargon yang menjadi ciri khas suatu radio di Kota Bumi Shalawat Nariyah itu sudah sering didengar. Namun, baru-baru ini jargon ini cocok juga untuk harian Radar Banyuwangi (Jawa Pos Group). Mengapa? Mungkin itu yang menjadi banyak pertanyaan yang bersarang di kepala Anda.
Radar Banyuwangi sendiri telah memiliki banyak pembaca yang terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari eksekutif muda, pengusaha, PNS, dan lain-lain. Kehadiran koran lokal yang memuat kabar seputar Kabupaten Situbondo dan Banyuwangi itu membuat manfaat tersendiri. Seperti, pemberitaan seputar lokasi di kedua wilayah yang memudahkan warga mengetahuinya. Juga, sebagai sarana kritik dari masyarakat untuk penguasa.
Selain itu, kehadiran Radar Banyuwangi juga memberi dampak prestise bagi berbagai kalangan. Hal ini ditinjau dari banyaknya iklan ini-itu yang dimuat dan tentu berbayar. Seperti pengucapan, selamat kepada bapak XXX telah menjadi YYY, dan lain-lain. Namun, bukan itu yang menjadi bahasan utama pada essay ini.
Peran Media dalam Pengembangan Bahasa Indonesia
Media massa dalam hal ini Radar Banyuwangi memiliki peran dan fungsinya sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat, termasuk pembinaan bahasa Indonesia. Pada dasarnya, media massa memang bukan sekedar dunia informasi, melainkan juga dunia bahasa. Oleh karena itulah, media massa memiliki beberapa peran dalam pengembangan bahasa Indonesia, seperti: munculnya kosa kata baru,
penggalian dan penyebarluasan kosakata dari khasanah budaya daerah, dan media pendidikan.
Peran-peran tersebut didukung dengan perkembangan sastra dan karya sastra. Hal ini dikarenakan terdapat bahasan mengenai karya sastra yang terdapat dalam surat kabar atau majalah, seperti cerpen, puisi, cerita bersambung, atau masalah sastra yang lain. Seperti beberapa tahun lalu, Radar Banyuwangi memuat cerita bersambung novelet Kesatria Kuda Putih yang menceritakan tentang perjuangan Kiai As’ad. Puncaknya, novelet tersebut dijadikan kliping oleh santri. Hal ini membuktikan bahwa koran ini memainkan peran dalam pencerdasaan kehidupan bangsa Indonesia, sekaligus pengenalan tentang perjuangan yang sarat akan sejarah.
Selain cerita bersambung, hampir setiap hari Minggu. Radar Banyuwangi menyediakan tempat untuk bahasan karya sastra yang kemudian dikenal dengan rubrik budaya. Biasanya, di sana termuat cerita pendek dan puisi, atau artikel mengenai karya sastra.
Radar Banyuwangi dalam Kepungan Penulis Nasional
Kehadiran rubrik tersebut, membuat banyak orang yang menyukai dunia menulis bisa mengirim karya. Pun, beberapa tahun belakangan ini banyak cerita yang dimuat dan berasal dari kedua daerah (Situbondo dan Banyuwangi). Namun, akhir-akhir ini tulisan yang dimua malah lebih banyak orang luar daerah. Bahkan ada yang dari luar Jawa. Kesuksesan ini membuat nama Radar Banyuwangi lebih dikenal banyak pihak, sekalipun tidak semua bisa menikmati edisi cetaknya. Oleh karena itu, mereka yang berasal dari luar kota, selalu menunggu koran elektroniknya.
Kesuksesan tersebut seolah-olah menjadikan koran lokal ini dikepung penulis nasional. Namun, kepungan itu juga yang membuat koran ini sarat akan kosa kata baru dan pengenalan kultur (budaya) daerah lain lebih mudah.
Selain dampak positif tersebut, kehadiran penulis-penulis luar itu membuat penulis asal daerah (Banywangi dan Situbondo) sendiri menjadi sulit untuk ter-ekspos. Padahal, di kedua kota bertetangga ini memiliki komunitas sastra lokal, semisal FLP (Forum Lingkar Pena), KPMS (Komunitas Penulis Muda Situbondo), FORPENS (Forum Penulis Situbondo), dan lain-lain. Seharusnya, orang-orang yang berkecimpung di komunitas-komunitas seperti itu mendapat media penampungan karya. Lebih jauh dari itu, daya saing antara penulis lokal dan penulis luar menjadikan tantangan sendiri untuk menembus koran ini. Mari berkarya! Sebab, menulis itu berjuang. Begitu kata Asma Nadia.