Joe memejamkan matanya, lalu membayang hal-hal indah yang tak semestinya, mulutnya komat-kamit menahan rasa yang tak bisa dilukiskan dengan beberapa juta kata. Beberapa menit kemudian, jiwa remaja itu terguncang. Ketika mengetahui ibu masuk tanpa permisi ke kamarnya.
“Apa yang kamu lakukan Joe?” Ibu bernada khawatir langsung menanyakan perilaku Joe yang memasukkan tangan ke dalam celana pendeknya.
Joe langsung menarik tangan, peluhnya satu-dua menetes lalu berubah menjadi keringat yang tak beraturan. Ia menarik napas, menginginkan tubuh yang lebih lega. Tapi, tatapan Ibu yang menyorot rasa penasaran itu membuatnya kebingungan.
Suasana kian mencekam, ketika sang Ayah ikut masuk ke dalam kamar Joe.
“Emangnya apa yang kamu lakukan Joe?!”
Joe terdiam, ia menunduk malu.
*
“Makanya Joe kalau melakukan itu ya lihat-lihat, kok sampai nggak tahan!” ucap Mamat, menjadikan Joe bulan-bulanan di antara teman-temannya.
“Sudahlah, Joe. Kita itu memang masa remaja, soal hal itu udah biasa. Kayak bapakmu dulu suci saja nggak pernah melakukan hal itu,” ucap Fredy membuat semua lelaki yang berada di markas cecunguk cardos tertawa terbahak-bahak.
Joe tak menanggapi perkataan teman-temannya, ia merasa telah salah menceritakan kisah yang begitu pribadi itu. Tapi, mau gimana lagi, bagaimana pun teman-teman cecungguk itu memiliki kisah lain atau saran untuk dirinya.
“Joe, kamu jangan melakukan hal itu lagi. Bagaimana?”
“Susah. Udah kucoba, bahkan udah taubat nasuha! Eh, beberapa saat kemudian kembali dengan memasukkan tangan dalam celana,” Joe mengakui kisah bodohnya, cecunguk-cecungguk para cardos itu ketawa terbahak-bahak. Kepolosan yang Joe miliki bagi mereka adalah ladang tertawa.
“Aku tak menyuruhmu untuk bertobat, Joe!” ucap Fredy, “Tapi ya, biar lebih bagus kita cari yang baru. Sensaninya pasti beda.”
“Apa?”
“Pelepasan rudal, perkoalisian dua insan!” jelas Mamat.
Joe menggeleng lemah, jauh dalam pikirannya ia merasa akan mendapatkan dosa-dosa baru jika sampai melakukan perkoalisiasan atas nama ketidakhalalan. Tapi, bagaimana pun sebagai remaja yang mencari jati diri. Ia merasa membutuhkan pengalaman yang berbeda.
“Maaf, aku mau pulang,” putus Joe kemudian.
*
Siang hari sepulang dari perkumpulan para geng cecungguk, Joe kembali sibuk dengan dunianya. Ia langsung menjelajah dunia maya, chatting dengan banyak perempuan, yang kadang-kadang menyerempet kepada masalah yang tak pantas dibicarkan orang yang belum menikah.
Bunga Kesepian : Ya, begitu Joe. Itu pengalaman pertama aku. Rasanya seperti pergi ke awan. Saat bibir dua insan berpautan. Bagaimana pengalamanmu?
Cinta yang Terlarang : Mau bagaimana lagi, Joe. Jangankan orang tua, mau tembok China yang menghalangi akan kami coba runtuhkan.
Joe tak membalas dua perempuan yang seperti mengajaknya berkompromi atas rasa-rasa nano-nano yang tak biasa. Seketika Joe keluar rumah, ia lalu menatap tetangga kiri-kanan dan pandangannya terfokus pada ibu dari Fredy yang sedang menjemur pakaian dengan kondisi menggunakan sampir yang basah. Hingga semua lekuk tubuhnya kelihatan.
Joe tersenyum menang. Ia merasa menemukan objek khayalnya yang baru. Pandangannya pun tak teralih. Ibu Fredy mulai merasa ada yang memerhatikan. Perempuan setengah baya itu memberi senyum tiga senti kepada Joe. Joe langsung membalas dan bertanya basa-basi.
“Kok sampai nyuci banyak, Bu. Ndak capek. Suruh si Fredy nyuci, Bu!”
“Ya, anak itu. Mana mungkin bisa nyuci. Pulang sekolah, ia langsung keluyuran.”
“Duh, betapa kasihan Ibu temanku ini harus mencuci banyak pakaian.”
Ibu Fredy tersenyum.
“Sudah selesai, Nak. Ibu masuk ke rumah ya!” ucap Ibu Fredy sambil menggantungkan kutang terakhirnya.
Joe menatap kutang berwarna merah muda itu, ia langsung mengetahui jika ukurannya itu termasuk dalam ukuran sedang. Joe pun ikut masuk ke rumahnya. Di dalam kamar, ia segera mencari bahan bacaan baru. Jarinya yang kekar segera memencet kata kunci menuju bahan bacaan yang belum ia selesaikan.
Napasnya pun seperti orang memburu sesuatu. Joe terus membaca, membaca, dan membaca. Kadang ia tersenyum, kadang mengenyitkan kening. Ditatapnya hapenya begitu fokus. Hingga ia tak sadar jika ada sepasang mata yang memerhatikan dan membuka kamarnya.
Sepasang mata itu lalu mendekatkan diri pada Joe.
“Joe!” teriak perempuan itu.
“I-i-i-b-u.” Joe terbata-bata, tak percaya jika Ibunya masuk dalam kamar.
“Kok tetep nggak berubah kamu!”
Joe terdiam.
Ia tak menemukan alasan untuk berbicara.
Namun, ia langsung selamat ketika mengetahui Fredy memanggilnya di luar rumah. Segera Joe pamit meninggalkan ibu yang semakin bingung dengan perilaku remaja tanggung itu.
*
“Bagaimana udah dipikir-pikir?” Fredy langsung ceplas-ceplos menanyakan hal tersebut pada Joe.
Joe terdiam. Memang selama ini, ia selalu menjadi objek tunggal di setiap percobaan, tangan menelusuri celana. Tapi, rasanya ia tak ingin ada objek kedua yang membuatnya butuh bersimboisis muatualisme. Muatualisme? Bukannya malah bisa menjadi simbosis yang tak menguntungkan, pikir Joe dalam hati.
“Ada beberapa yang udah kutemukan. Dan aku yakin kamu cocok. Aku sudah nentukan pilihan loh,” Fredy memanas-manasi Joe.
Joe tak berkata apa-apa. Ia langsung melangkahkan kaki keluar dari markas cecungguk cardos. Kembali ke rumahnya dan membaca lanjutan cerita yang belum tuntas.
“Joe kapan kamu berubah?” suara Ibu-nya di luar kamar.
Lebih baik aku seperti ini dibanding merugikan orang lain, bisik Joe dalam hati.
Tapi, itu juga tidak baik, bagimu, Joe. Lekaslah tersadar, suara hati Joe yang lain.
Joe berhenti melakukan aktivitasnya seketika.
Ia membanting hapenya.
Malang, 13 Juli 2020 21:16