Gedung Cakrawala Universitas Negeri Malang penuh sesak. Wisudawan dan tamu undangan satu per satu keluar dari gedung kebanggaan kampus pendidikan itu. Sementara itu, aku berusaha menatap satu per satu orang yang keluar itu, berharap ada dia yang telah kunanti. Dia yang berhasil mencuri mimpiku. Dia yang menerka segenap perasaan yang bersemayam dalam hati. Dia yang selalu menjadi obat bagi hati yang terluka. Dia yang kutunggu. Hanya dia, tak ada yang lain.
Dan, sebuah tepukan di punggung langsung terasa di belakang. Aku segera membalikkan badan. Memberikan senyum yang begitu merekah. Hanya saja, bukan wajah dia yang kutemui.
“Selamat,” ucapku agak kaget.
“Terima kasih, ikut foto-foto denganku kan?”
Aku segera mengangguk tawaran perempuan itu. Perempuan bernama Rini itu menarik tanganku. Membuatku berhasil menerobos kerumunan. Lalu, di sana beberapa teman satu angkatan kuliah telah menunggu kami di studio foto. Studio foto yang dadakan di lapangan terbuka itu memaksaku tersenyum. Tersenyum kebahagiaan akan diwisudanya beberapa teman-teman. Sekalipun mereka satu tahun lulus lebih lama ketimbang aku. Tetapi, wisuda tetap saja wisuda yang selalu menghadirkan senyuman bagi para penuntut ilmu.
Akhirnya, kusalami beberapa teman-teman yang wisuda itu, lalu kami berfoto. Usai itu, aku segera berusaha pergi. Tetapi, lagi-lagi tangan Rini menarikku.
“Kamu sedang mencari Lia kan?” tanya Rini yang langsung membuatku mengangguk. “Percuma saja mencarinya. Ia sudah pergi dan tak akan menemuimu lagi.”
Penjelasan Rini benar-benar membuatku berpikir jauh. Mengapa sampai hati Lia melakukan hal itu? Persoalan yang menimpa kami itu bukannya sudah selesai begitu jauh, lalu alasan apa yang pantas sehingga perempuan itu mendadak pergi.
“Ia tidak ingin menemuimu,” jelas Rini lagi, “belajarlah melupakan,” tutup perempuan itu kemudian.
Rini tak mungkin berkata kosong. Setiap katanya pasti penuh pertimbangan. Dan, aku tahu persis bagaimana sikap dia ketika kuliah. Sama seperti sikap perempuanku itu, ia pasti merasakan hal sakit sebelum akhirnya berpikir untuk meninggalkanku di acara bersejarah ini.
“Aku pergi dulu,” putusku akhirnya.
Rini mengangguk, begitupun teman-teman lainnya. Dari anggukan mereka, aku merasai jika ada rasa kasihan yang berlebih. Serupa tatapan rusa yang terluka. Walaupun begitu, persetan bagiku itu semua. Tujuanku sekarang hanya satu. Mencarinya di antara kerumunan ribuan manusia. Maka, aku mempercepat langkah, memfokuskan mata, mendatangi studio demi studio. Hanya saja, hasilnya begitu nihil. Ia tidak ada. Ia benar-benar tidak ada.
Gila! Mengapa perempuan itu pergi tanpa kabar terlebih dahulu? Mengapa ia meninggalkanku seperti ini? Seharusnya ada keterangan atau apa saja yang menjadi sinyal sebelumnya, bukan langsung pergi tanpa permisi seperti ini.
Selama ini, kami begitu dekat. Sangat dekat. Hubungan kami bak amplop dan perangko yang selalu menempel satu sama lain. Kemudian, dua benda itu akhirnya terpisahkan lantaran kemajuan teknologi. Prangko tak banyak digunakan. Barangkali, nasibku seperti prangko itu. Setelah Lia wisuda, ia tak lagi membutuhkanku. Ia tak lagi mau mendengarkan masukanku demi suksesnya skripsinya. Ia tak mau lagi bertemu denganku. Ia tak mau …, ah mengapa pikiran kotor itu begitu bertengger.
Aku pasrah. Benar-benar pasrah. Aku tak lagi melihat cahaya di tempat yang begitu mewah ini. Aku benar-benar merasa sendiri di tengah keramaian. Sungguh, jika boleh meminta, aku ingin sekali hari ini hujan. Sehingga orang-orang yang bahagia di tempat ini pergi dan ikut merasai kesedihan.
Maka, aku memejamkan mata. Mulutku komat-kamit mendoa. Berharap hujan segera turun dan menetralisir hujan air mata yang barangkali sebentar lagi menimpa wajahku.
Akhirnya, harapanku benar-benar terjadi. Hujan mendadak datang diiringi angin yang berembus kencang. Aku bahagia melihat itu, bahagia yang sebentar lalu berubah ketakutan.
“Temui dia di kost-nya,” Rini tanpa diduga berada di sampingku.
Perempuan itu menerjang hujan. Membuat toga yang dikenakannya basah. Perjuangannya untuk berbicara satu kalimat itu benar-benar begitu menyemangatiku sekaligus membuatku tersadar untuk memperjuangkan hubungan ini.
Aku pun segera mengucapkan terima kasih pada perempuan itu. Lalu, mengambil motor yang tak lagi dijaga tukang parkir.
***
Perjuangan baru dimulai. Aku berhasil menembus hujan yang begitu lebat. Orang-orang di jalan banyak yang menepi. Hujan ini tak hanya lebat, tetapi membawa angin dan menumbangkan segala pepohonan di kanan-kiri jalan. Aku tak memerdulikan itu semua. Aku harus segera sampai di kost perempuan itu. Harus segera sampai. Lalu, saat itu, kami akan berbincang. Menyelesaikan perkara ini. Barangkali hubungan kami masih bisa diselematkan.
Perjalanan dari Graha Cakrawala menuju Klampok Kasri akhirnya selesai sudah. Aku telah sampai di rumah indekost perempuan itu. Segera kukeluarkan ponsel di saku celanaku yang basah, tak kupedulikan dinginnya udara yang membalut tubuhku. Yang penting sekarang, hanya berbincang dengannya. Hanya itu.
Jari-jariku yang berkerut karena air itu segera menuliskan pesan mengenai keberadaanku di kostnya. Selang beberapa menit kemudian, dua centang biru terlihat di ponsel. Perempuan itu seperti tampak mengetik sesuatu. Hanya sesuatu. Sesuatu yang kemudian hilang tak terbaca. Tak ada pesan dari perempuan itu. Barangkali ia urung membalas pesanku.
Aku tunggu. Tulisku lagi.
Ia kembali membaca. Aku segera menggosok-gosokkan tangan. Kucari kehangatan di tengah kedinginan ini.
Sampai kapan menunggu? Tulisku lagi.
Ia hanya membaca. Tak ada sedikit pun usaha membalas pesan itu.
Kini, aku benar-benar tak tahan merasai dingin. Total sudah ada tiga puluh menitan aku menunggu. Tiga puluh menit yang begitu sia-sia. Sangat sia-sia.
Rasanya aku seperti pengemis cinta saja. Menunggui orang yang pernah berikrar untuk saling mencintai rasanya begitu menyakitkan. Apa mungkin ikrar itu telah hilang karena tuntutan cintaku yang berlebih? Atau bisa saja sebenarnya ia telah sulit berpura-pura akan perasaan yang ada itu? Apa pun itu, sungguh, aku masih menunggunya. Ia telah menghisap habis linangan air mataku bersama hujan.
“Rai!”
Perlahan aku menolehkan wajah yang barangkali telah menjadi pucat. Kuberharap suara itu keluar dari Lia, tetapi paras Rini yang berhasil kutemui. Paras yang menyiratkan netra muram dan seakan memendam persoalan.
“Ia masih membersihkan make up,” ungkap Rini langsung menatap wajahku, melipat tangannya dan menunggu ucapan yang akan keluar dariku. Tak ada jawaban apa pun yang keluar dariku, kecuali roman muka yang menggigil, menunjukkan rasa cemas yang berusaha disembunyikan.
Untuk beberapa saat, kebisuan mengambang di antara kami.
“Aku masuk ke dalam dulu,” tukas Rini tiba-tiba.
Aku langsung menyahut. “Terima kasih.”
Sepeninggalan Rini, aku kembali menunggu Lia. Bedanya menunggu kali ini, aku merasa ada harap. Pasti perempuan itu akan menemuiku. Aku telah membantunya dengan penuh keyakinan semasa kuliah dan pengerjaan skripsi. Sebelum akhirnya menetap hati dikarenakan niat baik untuk bersama. Niat bersama itu semakin besar seiring selesainya masa studinya. Kami telah merencanakan matang-matang, sangat matang.
“Sudah selesai membersihkan make up-nya?” tanyaku akhirnya di WhatsApp.
Dua centang biru tak lagi menghiasi layar ponselku. Kutanyai lagi perempuan itu di WA. Hasilnya sama. Malah kini, fotonya telah hilang di kontakku.
Gila. Perempuan itu memblokirku. Bara di hatiku mendadak mendidih. Tubuhku tak lagi menggigil lantaran hujan, tapi benar-benar seperti mau terbakar hangus karena sikapnya yang begitu dingin.
“Rin, kado untuk Lia kutaruh di depan pintu. Aku pamit.”
Pesan terakhir segera kukirim pada Rini. Pamit. Satu kata yang sebenarnya tak pantas diucapkan. Bagaimana mungkin aku bisa berkata pamit, sementara hatinya tak benar-benar kumiliki.
****
Malang tahun keenam.
Aku masih berada di kota sejuk ini. Setelah lulus dari kuliah dua tahun yang lalu, entah mengapa aku merasa sulit menghilangkan jejak kenangan di kota ini. Kota ini tak hanya menjadi tempat menuntut ilmu, tetapi juga tempat menuntut cinta. Cinta yang sebenarnya kuperjuangkan sendiri. Cinta yang berubah membuatku menjadi pengemis.
Cinta yang menghilang bersama hujan larut dalam kenangan. Cinta yang berusaha kubuang demi hidup yang harus dilanjutkan.
“Rai!” sebuah suara menyadarkanku dari lamunan kesekian kali di Graha Cakrawala.
Aku segera memalingkan wajah. Tak ada wajah yang kutemui. Hanya sebuah suara. Suara yang menyapaku. Suara yang barangkali hanya khayal semata. Suara yang kemudian membawa hujan. Melarutkan segala kenangan kami. Berharap semua tentangnya juga turut pergi bersama hujan.
Situbondo, 4 Agustus 2019. 10.34
11 Comments. Leave new
Berujung dengan blokir nomor WA, hehehe. Tragissss. 😀
Hehehe. Selalu begitu, Kak. Jauh lebih tragis, tiba-tiba ngirim undangan pernikahan.
Jangan lupa fitnes
Bikin baper
Alhamdulillah.
Hm… Diblokir… Nyesek deh…
Ya, Mbak. Dan kalau sudah digitukan rasanya terlalu kalau masih diperjuangin. *eh
Kirain ceritanya belum selesai, eh tau2 abis. Jadi, si Lia ini kenapa Gus? 😅
Ada di bagian kedua, Mbak. Hehehe. Nunggu pemuatan dulu, entar baru kuunggah di sini.
Endingnya blokir Whatsapp, nyesek banget, penolakan yang enggak terang-terangan, tapi juga enggak diam-diam, wong depan mata kelihatan ;(
Tidak ada penolakan yang baik-baik saja.