Wajahnya penuh bekas luka, bagaimana mungkin aku mencintainya?
Aku tersentak kaget dengan penampilan kakak dari Aisyah yang bagaikan bumi dan langit. Aisyah yang cantik bak bidadari, sedangkan kakaknya penuh bekas luka di sepertiga wajahnya. Lantas bagiamana aku mencintainya?
Ah, bukannya aku mau pilih-pilih dalam perihal jodohku! Bukan! Bukan itu! Namun, setidaknya jodohnya yang kubawa itu tidak membuat malu di kondangan. Hanya itu, sederhana bukan?
“Maaf, Aisyah. Kakak harus pergi ada pesanan tajhin palappa!” Aku segera meminta diri pada Aisyah untuk kembali ke warung, tempatku berjualan.
Ya. Sudah nyaris lima tahun aku berjualan makanan khas Situbondo itu. Selama itu pula aku mengenal Aisyah dari dia masih bau kencur sampai menjadi gadis matang di sebuah SMA ternama. Anehnya tanpa diminta ia malah menawariku seorang perempuan yang katanya pas untuk dijadikan istri. Perempuan itu tak lain adalah kakak Aisyah. Maka, aku pun langsung nrimo mengingat wajah Aisyah yang bak bidadari yang sedang mandi di bawah sungai-sungai surga yang memiliki mata air susu dan madu itu. Namun, ternyata perkiraanku meleset kuat.
Setelah melayani pembeli yang baru datang. Aku kembali menemani Aisyah dan kakaknya. Kami ngobrol-ngobrol ringan. Aku membangun topik agar kakaknya nyaman. Obrolan itu terhenti ketika ibu tiba-tiba datang.
“Nak, ibu tadi ketemu Bu Irma. Temen Ibu waktu masih SMA. Dia tambah cantik lho dan punya anak gadis juga. Kayaknya cocok buat kamu, gimana?”
Mendengar ungkapan itu kontan membuat Aisyah dan kakaknya meminta diri. Aku merasa tak nyaman, tetapi ibu menganggap biasa terlebih pembeli itu telah mengabiskan pesanannya. Selain itu, Ibu juga tidak tahu maksud kedatangan pelanggan itu.
“Nak,” panggil Ibu menghentikan lamunanku.
Aku balik memandang perempuan yang mempertaruhkan nyawanya ketika melahirkanku ini. Ingin rasanya menggeleng tidak, sebab merasa diri ini hina jika bersanding dengan perempuan indah. Apalagi, kecantikan Bu Irma sudah pasti menurun kepada anaknya.
“Yang paling penting, akhlaknya, Mas.” Ningrum memberi penguatan.
Adikku satu-satunya itu mendekatiku dan Ibu. Mahasiswa Pendidikan Agama Islam di sebuah kampus swasta di Situbondo itu seperti ingin mendakwahiku.
“Jika Mas tidak mau dengan tawaran Ibu. Aku bisa ngasik calon lho!” Ningrum tersenyum lebar dengan intonasi yang semakin membuat Ibu dan aku antusias untuk mendengarkan penuturan selanjutnya.
“Siapa?” tanyaku dan Ibu bersamaan.
“Ibu penjual kantin dia baru saja jomblo lho?!”
“Hai, Kakakmu ini masih jejaka, malah ditawari janda!” Ibu tak terima dengan tawaran Ningrum.
“Tadi guyon, Bu. Ada kok calonnya, ada Ibu dosen muda masih usia 35 tahun. Beliau ya tidak milih-milih pasangan, baik dari segi penampilan, kekayaan, maupun apa pun itu. Sing penting agamanya.”
“Wah, bagus tuh. Jadi, Masmu itu punya dua calon. Satu dari Ibu, satunya kamu. Ayo, Haris tentukan pilihanmu sekarang!”
Aku kembali tersenyum melihat Ibu berlagak seperti pembaca acara Take Me Out Indonesia.
“Aduh, melamun deh!” Ningrum mengataiku yang senyam-senyum sendiri.
Aku nyengir seketika.
“He-eh.”
Tak lama kemudian, adikku langsung menghubungi dosennya. Ia mengabarkan kalau seminggu lagi kami akan ke rumah dosen tersebut.
Aku tak sabar dengan hari yang ditunggu itu. Maka, selama seminggu itu pula aku menambah doa-doa agar bertemu dengan bidadari itu.
“Mas Haris juga harus olahraga biar nanti tidak gerogi ketemu dosenku!” goda Ningrum.
Aku membenarkan saran adikku itu. Apalagi, selama ini disibukkan dengan menjaga dan melayani pembeli tajjin palappa.
***

Gambar diolah dari laman liputan.com menggunakan laman Lunapic.
Seminggu kemudian.
“Saya menunggu kedatangan, Mas. Selama seminggu, tetapi kemarin saya baru dilamar melalui orang tua saya. Keluarga juga setuju.”
Demi mendengar pernyataan itu serasa tembok Cina menggulung tubuhku. Hatiku porak-poranda. Ibu yang ada di sampingku langsung memegang tanganku seakan ingin mengurangi beban yang bergemuruh dalam hati.
Maka, tak sampai lama. Aku dan Ibu segera memohon diri. Dalam hati aku ingin segera memarahi Ningrum, mengapa ia sampai hati tak menceritakan ini semua. Padahal, azzam-ku sudah ingin meminta jodoh pada-Nya apalagi usia sudah mau mencapai kepala tiga. Atau mungkin Bu Dosen itu belum memberi tahu Ningrum karena nggak enak hati?! Apa pun itu sekarang aku yang benar-benar broken heart.
“Sudahlah, jodohmu tidak akan tertukar. Kini, tinggal calon tunggal yakni anaknya Bu Irma. Mudah-mudahan dia jodohmu, besok kita ke sana?”
Aku mengangguk pasrah. Kami pun segera pergi dari rumah Bu Dosen itu. Hatiku nampak lesuh dan tak bersemangat apapun. Menaiki motor pun tak terlampau konsen.
“Hati-hati Nak! Harus eling lan waspodo!” ibu mengingatkan.
Aku segera mengurangi kecepatan. Lalu, memilih menepi sejenak. Pikiranku benar-benar kacau, bisa bahaya jika memilih untuk terus melanjutkan perjalanan. Ibu juga tak memprotes pilihanku itu. Perempuan berhati baik itu malah langsung mencari minuman di warung yang tak jauh dari tempatku memarkir motor.
Selanjutnya, aku hanya tinggal menunggu Ibu datang. Namun, kenyataan menunggu itu ternyata tidak sesederhana yang kupikirkan. Apalagi, setelah melihat Ibu histeris ketakutan. Maka, aku langsung memalingkan wajah pada Ibu.
“Copet!” pekik Ibu.
Aku langsung mengejar pencuri itu. Bukan hal sulit untuk meraih pencuri itu, apalagi aku memang suka olahraga satu ini. Makanya, pencuri itu berhasil kutangkap. Tubuhnya lalu kudorong jauh-jauh. Ia tak sedikit pun memberikan perlawanan.
Ibu yang melihatku dari jauh, kemudian mendekatiku. Hanya saja, dari arah perempuan itu, ada sebuah truk yang tampak ugal-ugalan. Meskipun Ibu berjalan di pinggir jalan, tubuhnya tetap bisa menjadi korban. Oleh karena itu, aku langsung berlari ke arah Ibu. Segera kutarik tubuh perempuan itu, hanya saja nahasnya truk itu berhasil mendapatkan kakiku. Sementara kepalaku dan kepala Ibu terbentur batu besar di pinggir jalan.
Darah mengucur deras dari kepala Ibu. Sementara aku yang setengah sadar melihat kenyataan ini langsung pingsan seketika.
“Aku di mana?” bagai pemain sinetron yang tak mengerti berada di mana aku langsung bertanya pada banyak orang. Padahal, jelas jawabannya adalah rumah sakit. Apalagi ada tanda di tangan jika aku sedang diinfus.
“Mbak…,” panggil seorang perawat ke orang di luar.
Ningrum masuk ke bilik perawatanku. Ia mengulum senyum. Kemudian, mencium tangan kananku dengan lembut.
“Kita doakan Ibu ya!”
Aku mengangguk memahami. Akhirnya, selama seminggu aku dan Ibu dirawat intensif. Silih berganti orang yang menjengguk kami, mulai dari keluarga jauh bahkan Bu Irma.
“Saya dan Putri saya akan ke rumahmu, Nak. Beberapa hari lagi, kita bicarakan secara jelas ya!”
Aku tersenyum menanggapi pernyataan tersebut. Maka hari yang ditunggu pun tiba. Aku sudah sehat seperti sedia kala, hanya saja saat ini tak terlampau banyak menghabiskan aktivitas. Jualan tajjin palappa-ku diganti Ningrum.
Detik bertalu. Aku semakin was-was. Meskipun was-was tidak boleh dilakukan sebab lebih dekat akan setan.
“Assalamualaikum,” seorang perempuan memberi salam.
Aku segera membuka pintu dan betapa terkejutnya aku, Bu Irma datang dengan Bu Dosen itu.
“Lho bukannya saya sudah ditolak?”
Bu Irma tertawa, “Saya tidak boleh masuk?” tanyanya kemudian.
Giliranku mencoba tersenyum. Kemudian dua perempuan lain masuk ke dalam rumah, setelah aku memanggil Ibu di dapur. Dan aku kembali terkejut ketika melihat Aisyah dan seorang perempuan yang begitu cantik.
“Ini lho Nak anak perempuanku ada tiga, kalau Aisyah mungkin kamu kenal begitu juga dengan Bu Dosen itu.”
“Maksud Ibu?”
Aku masih tak mengerti.
“Anak yang kau tolak itu adalah anak keduaku. Masih ingat kan si Aisyah memperkenalkan kalian berdua?”
Aku sama sekali tidak menolaknya. Perempuan itu pergi sebelum kami banyak mengobrol.
“Lho, wajahnya kok berubah?”
Bu Irma kemudian menceritakan jika perempuan yang bernama Fatimah itu kecelakaan ketika rumah kebakaran, bahkan ia sendiri yang membantu seluruh anggota keluarga untuk menyelematkan diri. Dan ketika mencoba menyelematkan ayahnya, malah Fatimah terkenan cipratan api yang membuatnya jadi cacat. Kemudian, Bu Irma berusaha mengumpulkan banyak pundi-pundi rupiah, hingga akhirnya Minggu kemarin. Fatimah diajak operasi plastik.
“Sebelum operasi plastik, kami meminta saran dari Ningrum, Nak Haris. Kata dia nggak apa-apa kalau operasi plastik. Toh karena ada musibah kecelakaan, bukan murni untuk mempercantik diri. Kami mengoperasi Farimah hanya bagian yang terkena bekas luka saja.”
“Gimana Mas?” Ningrum lagi-lagi tiba-tiba hadir. Mirip jelakung saja dia, datang tak diharap, pulang hilang melesat.
Ibu hanya senyam-senyum.
“Maaf atas sikap saya kemarin, Bu. Dan rasanya saya masih ndak pantes untuk anak ibu.”
Bu Irma menggeleng tegas kemudian memandang ibuku dengan senyum mengembang. Seketika aku takut untuk memandang Fatimah. Perempuan yang awalnya buruk rupa kemudian menjelma mengalahkan bidadari ternama.