Jika bertemu denganmu adalah nasib sial, tapi mengapa takdir kembali mempertemukan kita?
Ingin rasanya kalimat tanya itu aku ucapkan pada perempuan yang baru saja pingsan. Seorang ibu yang selama ini menghiasi mimpi gelapku. Mungkin arah mata angin yang membuatku bisa sampai di sini dan harus bertemu dengan perempuan itu. Barangkali takdir Tuhan yang tak bisa diakali, sehingga aku bisa sampai di sini. Tapi, tunggu, jika perempuan yang baru pingsan ini adalah benar Ibu dari Raka, teman satu sekolahku. Berarti selama ini, perempuan itu memberi anaknya dengan makanan haram. Ah. Kasihan Raka. Kasihan perutnya yang tak tahu mencerna makanan dari uang haram. Padahal, siswa sepintar dia tak pantas mendapat makanan dari hasil yang tak baik itu.
“Nak, ada yang punya minyak kayu putih.”
Seorang lelaki yang kemungkinan ustaz membuyarkan pikiranku tentang Ibu Raka itu. Aku hanya menggeleng lemah, tapi tidak dengan Nina yang segera mengambil minyak kayu putih di tasnya. Tak lupa perempuan yang duduk sebangku denganku itu segera mengoleskan minyak kayu putih pada ujung hidung perempuan yang pingsan itu.
Sungguh di dalam hatiku ada banyak tanya. Mengapa aku harus ketemu dengan perempuan itu? Apalagi dalam keadaan seperti ini? Dan, ia ibu temanku lagi. Bukankah tidak mungkin, jika aku memberi tahu pekerjaan ibunya yang nista itu.
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar Maryani,” kata ustaz menyebut suatu nama.
Maryani. Aku catat nama itu dengan baik. Kusiram bara yang ada di hatiku untuk sejenak. Kupasang senyum pada perempuan bernama Maryani itu.
“Ibu tidak apa-apa?” tanyaku.
“Kamu kenal aku?”
Aku menggeleng lemah. Padahal, aku ingin mengangguk. Bagaimana tidak mengenal perempuan itu? Ia yang membuatku tak punya uang dua puluh ribu. Uang jajan sehari. Memang sih uang dua puluh ribu tak terlalu besar. Tapi, proses untuk mencarinya kan tidak mudah? Apalagi, kedua orangtuaku hanya sebagai pedagang kecil. Dan, cara Bu Maryani mengambilnya juga tidak baik.
“Sudah, Bu. Lupakan dulu, sekarang saya ingin menjenguk Raka.”
Demi mengeluarkan kata itu, aku tak berani memandang Bu Maryani itu. Segera aku dan Nina ditemani Pak Ustaz menuju kamar tempat Raka berbaring. Kupegang tangan Raka yang sedemikian dingin itu. Tapi, anehnya kepalanya panas seperti bara api.
“Sudah periksa ke dokter?” Nina mengawali pertanyaan.
“Sudah, bahkan sudah tes laboraturium. Tapi, hasilnya aku sehat katanya,” tutur Raka dengan lemah.
Kasihan benar Raka. Dalam batinku ada gejolak yang sulit untuk ditepis. Dan, entah mengapa aku merasa rasa sakit yang diderita Raka itu akibat ulah ibunya. Aku sering mendengar tentang pengorbanan yang dilakukan oleh orang yang melakukan ritual pesugihan atau ritual sejenis untuk menambah uang, pasti mengorbankan orang terkasihnya.
Ya. Mungkin Raka. Duh, aku kok bisa jadi berpikir negatif seperti ini!
“Ibu, sudah berapa hari Raka seperti ini?” tanyaku sambil menatap wajah perempuan yang melahirkan Raka itu.
Di matanya ketemukan aroma senduh, ketakutan, dan kejahatan yang bersatu padu. Ini tentu bukan soal firasatku saja. Tapi, sungguh, kepala Medusa yang memiliki ular saja tak lebih menakutkan dibanding menatap wajah Bu Maryani.
“Su-su-dah lii-lii-ma hari,” Bu Maryani tergagap.
Kecurigaanku semakin besar. Aku sudah mempersiapkan pertanyaan selanjutnya. Tapi, kemudian suara telepon menggagalkan semuanya.
“Ada apa, Bu?”
“Kamu pernah kehilangan uang?”
Tepat sekali. Ibu bertanya itu ketika orang yang mengambilnya ada di depanku.
“Ya, sekitar dua minggu yang lalu.”
Ibu kemudian bercerita, beliau mengetahui hal itu semua karena melihat sebuah pesan dari celana yang dicucinya. Setelah itu, perempuan yang memiliki hati bak bidadari itu menceritakan bahwa di daerah tempat ia menjual ikan telah tertangkap dua orang yang memiliki mantra uang balik.
Aku tersenyum senang mendengar kabar itu.
Masih kata Ibu, orang yang memiliki mantra itu ketahuan karena meninggalkan uang curian di kamar mandi secara tidak sengaja. Sehingga keamanan pasar membuka tas yang berisi uang itu guna mengetahui pemiliknya. Anehnya, keamanan pasar juga menemukan uang kuno yang memiliki beberapa mantra di bagiannya.
Karena menaruh rasa curiga. Akhirnya, keamanan pasar menanyakan kepada salah satu ustaz tak jauh dari lokasi pasar. Bertepatan dengan itu, si pemilik uang kebingungan. Ia pun menanyakan kehilangan tasnya pada keamanan pasar yang lain. Dan, lucunya ketika melaporkan kehilangan tas. Ia menceritakan bahwa di tasnya ada mantra penambah uang. Benar-benar payah. Tapi, bukankah bagaimanapun tupai pandai melompat, pasti suatu saat akan jatuh juga.
“Wow, keren!” tutup Ibu berkisah.
Aku tersenyum senang. Kupandang Bu Maryani yang kini bertambah ketakutan. Nina yang mengetahui adu pandang mata kami, segera menendang kakiku.
“Auw!” jeritku kecil.
“Maaf, Maryani dan adik-adik. Saya berusaha mendoakan Raka dulu. Dimohon yang lainnya menunggu di beranda rumah.”
Aku, Nina, dan Bu Maryani segera ke luar rumah. Nina kemudian meminta izin untuk membeli minuman. Aku gunakan kesempatan itu untuk menatap Bu Maryani sekali lagi.
“Ibu kan yang datang dalam mimpiku dan mengambil uangku?”
“Saya bisa kembalikan itu, cuma dua puluh ribu.”
“Bukan masalah cuma dua puluh ribu, Bu. Tapi, tentang cara ibu mendapatkannya yang saya persoalkan.”
“Lalu, kamu mau lapor ke orang pasar. Lalu, saya juga bisa ditangkap, karena pernah melakukan hal yang sama.”
Setiap pertanyaanku selalu dijawab gertakan oleh Bu Maryani. Aku mengelus dada, mengurut benci yang bertengger dengan sempurna. Bukan maksudku membuat Bu Maryani tersinggung. Tapi, aku ingin dia berubah. Itu saja! Tentu, demi Raka!
“Ibu tidak kasihan sama Raka?”
“Maksud kamu apa?”
Aku segera menjelaskan kemungkinan besar Raka bisa menjadi tumbal atas apa yang dilakukan ibunya. Belum sempat aku menceritakan semua. Perempuan itu meludahi wajahku. Bertepatan dengan Nina yang sudah berada di antara kami.
Nina hanya tercengang kaget. Tak, percaya aku diludahi oleh ibu sahabat kami.
“Kamu tidak apa-apa? Kenapa Ibu melakukan ini sama Fariz?”
“Lebih baik kalian pergi!” Bu Maryani segera mengusir kami.
*
Di jalan menuju rumah, aku meminta Nina untuk tidak menceritakan kejadian ini sama siapa pun. Nina menyanggupi tanpa bertanya-tanya alasan atas hal itu. Memang aku tak terima atas ludah yang bau itu. Tapi, bukankah ini adalah awal dari perjuangan? Apalagi mengajak perempuan itu untuk bertobat. Bukan apa-apa, aku tak sampai hati membiarkan Raka makan-makanan yang haram.
Ibuku saja yang susah payah jual ikan. Tak pernah mau makan hasil uang haram dari Bapak menang togel. Makanya aku kasihan sama Raka. Sebab, katanya orang pintar makan-makanan haram itu akan menjadi penolak atas doa kita pada Tuhan.
Ah. Sudahlah itu urusan Raka dan Ibunya. Bukan aku! Tapi, bukankah sebagai manusia, kita tak boleh apatis? Aduh, kok jadi serba salah seperti ini?! Kubiarkan pikiranku berjalan bersamaan dengan sepeda motor yang kami kendarai. Hingga aku kehilangan kesadaran dan melewati gang menuju rumah.
“Fokus, Riz. Jangan seperti tadi, kalau ada apa-apa cerita ya!” Nina mengingatkan, lalu langsung tancap gas menuju rumahnya.
Aku membalas perkatannya dengan senyum lebar. Setelah itu berbalik arah, dan ada perempuan yang paling kucinta selama hidupku.
Ibu!
“Masalah apa yang terjadi?” tanya Ibu.
Kutarik tangan halus perempuan itu untuk segera masuk menuju rumah. Kuceritakan kejadian yang terjadi di rumah Raka tanpa aku kurangi atau tambahi. Kemudian tentang uang yang pernah hilang.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Enak saja main meludahi anak orang!”
Ibu tampak geram. Ah, jika dua perempuan yang sudah ibu-ibu bertengkar bisa kacau dunia! Duh, aku lupa bagian ini. Seharusnya tidak diceritakan pada Ibu.
“Bukan begitu maksudku, Bu.”
Akhirnya kata itu keluar dari mulutku. Aku segera berpikir bagaimana cara membantu Raka, sebab tidak mungkin ibu kandungnya itu bisa mengeluarkan penyakit lelaki itu. Bahkan, uang balik yang mereka punya tak mungkin membantu banyak.
Hati Ibu pun mendadak luluh. Perempuan teduh itu senang dengan sikapku. Tapi, yang kemudian menjadi pertanyaan lain bagi kami berdua, “Bagaimana cara membantu Raka yang malang itu?”
Ibu mengusulkan supaya aku menarik uang kepada teman-teman di sekolah. Oke lah, saran pertama bisa dilaksanakan dengan mudah. Kedua, ibu menyarankan kalau aku harus sering mendoakan Raka. Saran ketiga, Ibu berharap aku mengikhlaskan uang dua puluh ribu itu. Tiga saran itu mudah saja aku lakukan.
Aku pun segera menghubungi pembina OSIS di sekolah untuk memberi tahu kabar mengenai Raka. Ibu masih berada di dekatku. Sengaja ku-loadspeaker pembicaraan dengan orang nomor dua di sekolah itu. Kuceritakan dengan jeli keadaan Raka yang mengenaskan itu.
“Wah, itu perlu dibantu. Begini saja, selain sumbangan uang. Kita mengaji saja di sekolah.”
Jawaban yang pas. Segera kututup telepon dengan salah satu pembina OSIS. Ibu yang tak jauh dariku tersenyum senang. Ah, bertambah kecantikannya jika berlaku seperti itu.
“Ibu bangga padamu,” ucap perempuan terkasih itu di telingaku.
*
Magrib datang menjelang. Seperti diketahui banyak orang, bertamu di waktu Magrib dianggap tidak sopan. Tapi, seusai menunaikan salat tiga rakaat itu. Tiba-tiba ada suara bel di luar rumah. Anehnya, ketika aku keluar. Tak ada orang. Hanya uang dua puluh ribu di dekat keset. Apakah Ibunya Raka baru saja ke sini?
*
Di sekolah, seusai mengaji untuk Raka secara khusus, kami perwakilan siswa bersama guru ke rumah Raka. Kondisi Raka cukup membaik. Tapi, kondisi ibunya begitu pudar, tak ada semangat sedikit pun.
Perempuan nomor satu di hati Raka itu mengajakku berbicara di belakang rumah. Aku setuju. Ia pun memulai cerita bahwa ketika Raka sakit, karena gelap mata perempuan itu melakukan ritual uang balik di dua masjid. Akibat itu, rasa sakit Raka bertambah kian parah. Bukan karena sakit fisik, tapi sakit akibat tindakan ibunya sendiri.
“Saya minta bantuan kamu. Nanti malam temani saya ke dua masjid itu.”
Aku menyanggupi. Usai itu, kami kembali ke kamar Raka berbaring dengan tenang untuk selama-lamanya.
Malang, 13 Juli 2020