Guvara menatap ke cermin. Rambutnya yang panjang kusisiri sepenuh hati. Wajahnya yang manis dan matanya yang elang seolah-olah sedang berbicara padaku lewat bahasa tubuh. Ada kegusaran yang tergambar jelas di sana.
Kubiarkan anak itu untuk menikmati kegusarannya. Aku akan menunggunya berbicara. Selepas itu, jika diminta untuk memberikan pendapat barulah aku bersuara. Jika ia tidak meminta pendapat, aku hanya perlu mendengarkan.
“Ma…,” Guvara memanggil.
Ia membalikkan badan. Lalu, mengambil sisir yang ada di tanganku. Tampaknya anak itu ingin berbicara sesuatu yang sangat serius.
“Mama, dulu kenapa memilih tidak kuliah?”
Pertanyaan itu sekaligus membuatku terdiam. Rentetan peristiwa masa lalu seolah hadir. Berloncatan.
****
Dulu, sebelum menjalani ujian nasional (UN), aku sebenarnya telah memilih jurusan Pendidikan Bahasa Arab di Universitas Negeri Malang (UM). Pilihan itu tak pernah kudiskusikan dengan siapa pun. Aku hanya memilih dan ingin memberikan kejutan jika lolos.
Anehnya, selepas UN, Bapak mengutarakan rencananya untuk hidupku. Ia berharap agar aku mengikuti seleksi tes bintara Tentara Nasional Indonesia. Demi ambisi Bapak, aku harus mengikuti program diet ketat supaya berat badan menjadi ideal. Ada banyak hal yang kulakukan, mulai dari olahraga ekstra hingga membeli susu diet yang harganya bikin mengelus dada. Usaha tersebut membuahkan hasil setelah satu bulan percobaan, berat badanku sesuai harapan. Bapak yang mengetahui itu langsung mengancungkan jempol.
Aku pun mulai mendaftar tes bintara TNI AD. Setidaknya ada tujuh tahapan tes yang akan kuikuti, yaitu tes administrasi, tes kesamaptaan jasmani, tes kesehatan, tes akademik, tes psikologi, dan tes mental ideologi, serta pantukir sebagai pemantauan akhir untuk menentukan calon siswa yang lolos sebagai bintara.
Dari tujuh tahapan tes tersebut, langkahku harus terhenti pada tes psikologi. Tes ini berfungsi untuk mengetahui kepribadian dan karakteristik calon siswa Bintara. Aku sebenarnya telah mempersiapkan tes ini dengan berlatih mengerjakan soal-soal psikologi di buku. Namun, hasilnya nilaiku tak sesuai dengan harapan.
Mengetahui ketidaklulusan itu membuat Bapak berusaha memotivasiku agar lebih berusaha agar bisa ikut tes di kesempatan lain. Namun, sungguh aku mengikuti tes ini hanya agar ia bahagia. Tidak lebih. Kegagalan yang kurasakan juga bukan suatu kegagalan yang membuat jatuh, pusing, bimbang, dan perasaan sedih lainnya. Sebab, mimpi menjadi tentara tidak pernah ada di pikiranku. Mimpiku hanya ingin melanjutkan kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Arab sesuai dengan matapelajaran favoritku di SMA.
Dua minggu setelah hari kegagalanku itu, aku dihadapkan pada pengumuman UN. Aku yakin bisa lulus dengan nilai baik. Keyakinan itu sesuai dengan harapan setelah aku melihat deretan angka yang terpampang di surat pengumuman kelulusan. Bapak yang mengetahui kabar itu kembali senang. Nilai itu seolah menjadi penghiburnya.
Empat hari setelahnya, aku kembali mendapatkan kabar baik. Aku lulus kuliah jalur PMDK di pilihan pertamaku. Aku yakin kabar ini akan membuat Bapak bertambah senang.
“Kamu kok ambil jurusan itu nggak bilang-bilang?” tanya Bapak. Matanya melotot.
Wajahnya memerah. Ia seolah-olah siap menyantapku dengan kemarahan yang berlebih.
Aku bergeming. Kemudian, menunduk. Aku ingin bersuara, tapi tak bisa. Hanya tangis yang bisa kukeluarkan. Bapak yang melihat itu malah ingin bertambah marah. Untungnya, ada suara ketokan pintu yang membuyarkan kemarahannya. Aku langsung cepat-cepat ke kamar, menumpahkan sisa air mata dan menangis dalam diam.
Setelah menenangkan diri, Bapak mengetuk pintu. Ia menyuruhku bertemu dengan tamunya. Tamu tersebut bernama Om Martin, adik kandung Bapak. Om Martin dan Bapak itu berbeda jauh dari tingkat pendidikan. Om Martin kuliah hingga pascasarjana, sementara Bapak tampatan Sekolah Rakyat. Oleh karena itu, aku yakin Om Martin bisa menjembatani pilihan jurusanku. Ia juga pasti dapat merontohkan kemarahan Bapak.
“Kamu juga ngapain milih jurusan itu. Mau jadi TKW di Arab seperti Ibumu!” ungkap Om Martin dengan kemarahan yang sama seperti Bapak.
Aku tak percaya atas komentar lelaki berpendidikan itu. Padahal, seharusnya ia tahu bahwa kuliah jurusan apa pun sama saja. Peluang bekerja juga sama. Tinggal mau atau tidak bekerja. Lagian, kalau menjadi TKW berbekal ijazah pasti beda pekerjaannya dibandingkan yang tanpa ijazah. Bukankah tidak semua TKW menjadi asisten rumah tangga kan?
Ah, aku ingin menyuarakan semua yang ada di pikiran. Namun, aku terbentur dengan aturan tak tertulis dalam keluarga yang berbunyi omongan apa pun dari orang tua adalah fatwa, harus dikerjakan tanpa perlu diperdebatkan.
“Begini saja, kamu bisa kuliah. Asalkan mengikuti jurusan yang Om pilih. Jurusan Teknik Elektro di Politeknik Malang ya! Soal biaya Om akan bantu Bapakmu.”
Wajahku menggeleng lemah saat Om menyebut jurusan tersebut. Memang selama di SMA, aku kuliah jurusan IPA. Namun, jurusan itu tak pernah terbesit di pikiranku sedikit pun.
“Bapak setuju!”
Kesepakatan itu benar-benar terjadi. Tak ada pilihan lain, aku harus benar-benar berjuang untuk masuk jurusan itu. Aku pun kembali belajar dengan giat. Soal-soal prediksi Ujian Masuk Poltek Negeri (UMPN) menjadi makanan sehari-hariku hingga pelaksanaan tes. Meskipun tidak terlalu berminat pada jurusan itu, aku benar-benar belajar dengan baik. Anehnya, ketika pengumuman kelulusan tes, namaku tidak ada di daftar.
Aku kembali gagal. Kali ini, bukan hanya Bapak yang merasa sedih, tetapi Om juga. Rasa sedih itu kemudian berpindah bentuk menjadi perasaan lain, seperti kesal, kecewa, dan marah. Selepas itu, Bapak dan Om sepakat untuk tidak menguliahkanku. Mereka hanya ingin menunggu lelaki yang siap melamar.
Aku sungguh ingin berontak. Aku sungguh ingin marah. Namun, semua itu tak bisa kulakukan. Aku hanya bisa menerima segala keputusan mereka.
****
“Mama, kok diam?” tanya Guvara, lagi.
Aku menatap gadis itu. Pertanyaannya itu kembali melemparku ke alam sadar. Masa tidak bisa menentukan rencana hidup telah habis.
“Akung dan Uti tidak memiliki dana banyak waktu itu. Makanya, sekarang kamu kalau bisa kuliah. Terserah jurusan apa pun itu. Kamu berhak memilih.”
Wajah Guvara begitu cerah mendengar jawaban itu. Ia lalu menceritakan dua jurusan pilihannya, yakni Pendidikan Bahasa Arab dan Teknik Elektro. Dua pilihan itu membuatku tersenyum. Guvara dan aku ternyata memiliki satu minat yang sama, yakni Pendidikan Bahasa Arab. Ingin rasanya aku berdoa agar gadis itu lolos di jurusan tersebut. Namun, semua terserah takdir yang nantinya berbicara.
Setidaknya, aku telah memberikan kebebasan untuknya memilih jurusan. Sebab, ia tak boleh sama denganku. Di kehidupan gadisku ini, tidak ada sosok Om dan Bapak yang menentukan arah hidupnya, baik sosok Mama maupun sosok Papanya. Tangan-tangan kami tak pernah menarik tangannya agar bisa dimainkan sesuka hati.
Guvara bebas memilih. Ia bebas mengemukakan pendapat. Ia bukan boneka keluarga sepertiku dulu yang bisa dimainkan dan diatur sesuka hati, serta harus menuruti semua perkataan tangan-tangan yang memainkannya. Ia tak sama. Tak boleh sama.
Malang, 25 Februari 2020