Pagi yang berbeda untuk kali pertama aku tak salat Subuh tepat waktu. Biasanya Ibu selalu membangunkan sebelum pergi ke pasar. Tapi, entah mengapa kali ini beliau terlupa. Atau semua ini karena aku yang begitu susah untuk dibangunkan. Kecuali dengan tetesan air di muka.
Aku pun segera bergegas ke kamar mandi, lepas itu meng-qodo’ salat shubuh, dan bersiap-siap ke sekolah. Entah mengapa, usai memakai seragam sekolah kuteringat akan pesan semalam Ibu untuk tidak lupa mendoakannya dan salat tepat waktu. Maka dengan seribu penasaran, aku pun menghampiri kamar Ibu. Barangkali, beliau juga telat bangun hingga tidak menjual ikan seperti biasanya.
“Ibuuuuuu!” panggilku terkejut.
Bagaimana tidak? Mulut Ibu kini penuh dengan busa. Dan ini bukan kali pertamanya aku mendapati Ibu seperti ini. Dengan langkah tergontai dan isak tangis yang langsung pecah, kuberusaha mencari bala bantuan di luar. Untungnya ada Pak Hadi serta beberapa bapak-bapak lainnya yang membawa Ibu ke mobil jazz Pak Hadi.
Aku, Bu Mirna istri pak Hadi, serta Pak Hadi langsung membawa Ibu ke rumah sakit. Disepanjang jalan, aku terus menangis dan memanggil nama Ibu.
“Sudah, Suci. Lebih baik kita mendoakan Ibumu. Daripada menangis,” saran Bu Mirna, menenangkan.
Tak sampai lima belas menit, kami pun sampai di rumah sakit. Beruntung, Ibu bisa diselamatkan. Pak Hadi pun pamit bergegas ke kantor, sedangkan aku bersama Bu Mirna menjaga Ibu di rumah sakit. Mengingat keadaan Ibu yang masih di rumah sakit, aku pun mengirim SMS pada teman di kelas guna memberitahukan jika tidak bisa mengikuti pembelajaran hari ini.
*
“Ibu sudah bisa pulang hari ini, Nak,” ungkap Bu Mirna saat sore hari.
“Hari ini?” tanyaku, bingung. Yang menjadi kebingungan adalah pembayaran administrasi kesehatan Ibu.
Sementara Ayah belum juga datang dari tempat melaut. Tentu, jika ia telah sampai di rumah, pasti diberitahukan tetangga untuk segera ke rumah sakit
“Sudah tenang, saja. Untuk pembayarannya sudah Ibu bayar, Nak,” tawar Bu Mirna seolah tamu apa yang dipikirkanku. “Jaga Ibumu, jangan sampai melakukan ke-empat kalinya. Kamu sayang kan sama Ibumu?” tanya Bu Mirna, kemudian.
Aku mengangguk. Kami pun segera kembali ke rumah. Di dalam mobil Ibu menangis dengan kencang sambil memelukku.
“Jangan menangis, Bu.”
“Maafkan Ibu ya, Nak.”
Aku hanya mengangguk, sambil mencium kening Ibu. Bu Mirna yang mengetahui hal ini hanya senyam-senyum. Betapa beruntungnya aku memiliki tetangga yang perhatiannya minta ampun. Bahkan tiap kali ke sekolah dan bertemu Bu Mirna, ia sering memberiku beberapa rupiah.
Di dalam pelukanku, Ibu terlelap tidur. Setelah itu, aku memerhatikan wajah teduh Bu Mirna yang tampak sibuk dengan android di tangannya. Peristiwa yang ku tak mengerti pun terjadi. Tiba-tiba Bu Mirna menetaskan air mata yang entah darimana musababnya.
“Jangan menangis, Bu.”
Bu Mirna malah menangis menjadi-jadi. Kemudian wajahnya dipalingkan pada android yang dipegang tangannya. Aku kebingungan, mau bertanya ada apa dan mengapa? Takut dirasa mencampuri urusan orang lain.
Akhirnya, mobil yang ditumpangi kami pun sampai hampir sampai di gang perumahan. Namun, sayang kemacetan segera terlihat. Bu Mirna semakin menangis, bahkan membuat Ibu bangun dari tidurnya.
Dari jendela mobil terlihat di bendera kuning ditancapkan di antara rumahku dan Pak Hadi. Jadi ini penyebabnya, Allah begitu cepat Kau mengambil Pak Hadi. Kataku dalam batin.
Kami pun keluar dari mobil, Bu Mirna segera memelukku dan Ibu. Aku bertambah bingung. Dan tatkala langkah kami semakin dekat. Betapa terkejutnya aku jika Ayah telah dikafani.
Deg! Deg!
Tangis Ibu pecah. Aku juga ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi, batinku menolak melakukan hal tersebut.
“Jangan menangis, Bu. Ini sudah takdir dari Allah. Kita harus ikhlas.”
“Ini semua salah Ibu, Nak. Coba saja, Ibu tidak sering melakukan percobaan bunuh diri. Ayah tak akan terlampau capek bekerja di laut.” Ibu merengek dengan nada-nada terisak.
Ah. Sebuah penyesalan datang terlambat.
“Sudahlah, Bu. Kita harus ikhlas.”
Aku pun menyeka air mata Ibu. Mayat Ayah pun segera dibawa ke makam. [!]